Jakarta, Gatra.com - Koperasi harus berubah bukan menjadi tempat meminjam uang alias mengutang. Selain itu, koperasi juga harus menghilangkan "doktrin" anggotanya untuk segera mengutang.
"Jadi harusnya koperasi datang rakyat kenyang atau senang. Bukan koperasi datang rakyat ngutang," ujar Saproni saat mempertahankan disertasinya berjudul "Model Penerapan Asas Pancasila Dalam Penyertaan Modal Koperasi untuk Kesejahteraan Anggota" di Universitas Borobudur, Jakarta, Selasa (10/3).
Pria kelahiran Bojonegoro ini menyampaikan pernyataan tersebut menjawab pertanyaan dari Dr. Megawati Barthos S.H., MM, salah satu penguji disertasi untuk meraih gelar Doktor Program Pascasarjana Universitas Borobudur.
Megawati awalnya menanyakan bagaimana mengukur tingkat kesejahteraan anggota koperasi. Saproni lalu menyampaikan hasil penelitiannya di beberapa koperasi. Ia mewawancara pengurus dan anggota untuk mengetahui maju tidaknya koperasi.
Mereka menyampaikan bahwa koperasi ini maju. Salah satunya karena banyak anggota yang meminjam uang alias ngutang. "Ini kurang pas ngajari utang. Padahal orang kita kalau disuruh ngutang paling semangat," katanya.
Menurutnya, kebiasaan dan "doktrin" ini hampir terjadi di tiap koperasi. "Saya bukan hanya ke tempat koperasi tempat saya saja. Saya sudah teliti dan wawancara, memang ada koperasi swasta dan negeri yang maju. Tapi ini ajaran koperasi, bisa ngutang di sini," ungkapnya.
Menurutnya, mengubah "doktrin" ini merupakan tanggung jawab semua pihak, termasuk di antaranya pengurus dan anggota koperasi, serta stake holder terkait.
"Ini PR [pekerjaan rumah] bagi anggota dan pengurus koperasi karena koperasi itu hanya untuk kesejahteraan anggota dan pengurus kalau dilihat dari sisi hukum," ujarnya.
Dalam pemaparannya, Saproni mengungkapkan bahwa salah satu penyebab penyimpangan dalam koperasi yang biasanya terjadi adalah menawarkan produk "investasi" dengan imbal hasil (return) yang tinggi dan akhirnya gagal bayar.
Selain itu, penyertaan modal yang tidak sesuai juga menjadi persoalan. Permodalan ini diatur dalam Bab VII Pasal 41 UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Modal koperasi bisa dari modal sendiri dan pinjaman. Dalam pasal ini juga diatur bahwa koperasi bisa melakukan pemupukan moda yang berasal dari modal penyertaan.
"Terkait penyertaan modal di UU Koperasi 25/1992, juga sudah diatur di PP Tahun 98. Di situ penyertaan modal disebut yang boleh adalah pemerintah, angggota masyarakat, badan usaha, dan badan-badan lainnya," kata dia.
Ketentuan di atas soal badan-badan lainnya yang sah menurut hukum, lanjut Saproni, kalau merujuk pada hukum ini menjadi penyakit. Begitupun soal prasa anggota masyarakat, ini juga akhirnya merujuk kepada orang yang mempunyai banyak uang.
"Penanam modal rata-rata melihat koperasi ada proyek pekerjaan apa, langsung Rp100 miliar berapa persen untuk koperasi dan lain-lainnya," kata dia.
Kesepakatan penyertaan modal ini tentunya dibingkai dalam perjanjian perdata yang menjadi payung hukum antara investor penyerta modal dan pihak koperasi. Namun, perjanjian ini kerap menjadi dasar melakukan praktik menguruk untung bukan untuk anggota koperasi.
"Praktik penyertaan moda gelap bermula dari tidak adanya aturan sanksi yang jelas terkait hal-hal apa saja yang boleh dan tidak boleh dicantumkan dalam penyertaan modal," katanya.
Selain itu, timbulnya masalah pada penyertaan modal itu karena kurangnya pengawasan dari pemerintah, induk-induk koperasi, serta minimnya kepedulian anggota koperasi. Anggota hanya berpikir bahwa uangnya tetap ada dan mendapat keuntungan berlipat.
"Yang penting untung, uang Rp5 juta ditaro situ nanti kembali lagi Rp10 juta. Dan yang terjadi seperti itu, di daerah kami juga seperti Koperasi Pandawa, hal-hal penyertaan modal," ujarnya.
"Begitu ada koperasi baru, harusnya ada kontroling dari pemerintah. Bukan menimbulkan masalah baru dan 'memadamkan' api," katanya.
Koperasi Lawan Kapitalisme, Amandemen UUD 1945
Saproni menyampaikan, UU Koperasi sempat dikembalikan ke UU Nomor 25 Tahun 1992 karena UU baru cenderung kapitalis. Koperasi harus hadir di tengah persaingan para kapitalis.
"Di mana ada kapitalis di situ membuat warung. Kalau ada Alfamart maka di situ pasti ada Indomaret. Ini bersaing terus. Di mana ada Indomaret di situ ada Alfamart. Di mana ada KFC di situ meski ada MC Donald's. Harusnya koperasi hadir di situ, jangan terpaku alasan modal kurang. Kalau terpaku di situ. Tapi lemahnya di penyertaan modal," ujarnya.
Melihat kondisi ini, Saproni pun menulis buku berjudul "Koperasi Melawan Kapitalisme". Buku ini ditulis demi perekonomian bangsa bukan karena penulis merupakan tentara.
"Di mana letak kesalahannya? Ternyata di dalam PP Penyertaan Modal letak kesalahan. Di sisi hukum itulah yang harus kita lihat pihak legislatif untuk memahami," katanya.
Saat mempertahankan disertasinya, Saproni juga menyampaikan bahwa UUD 1945 yang sudah 4 kali diamandemen, harus kembali diamandemen untuk mengembalikan koperasi.
"Saya lihat UUD 1945 yang sekarang yang sudah diamandemen, itu sangat merugikan koperasi," kata Saproni.
Menurutnya, dalam UUD 1945 itu nama koperasi hampir dihilangkan. "Ini kami sudah minta tanggapan beberapa narasumber tapi itulah kenyataanya dan kita tidak bisa apa-apa. Bahkan, lambang koperasi pun yang sebelumnya gambar segi lima, sekarang kembali gambar beringin dan lain-lainnya," kata dia.
Koperasi Harus Ikuti Perkembangan Zaman
Banyak koperasi dinilai tidak mampu bertahan di tengah globalisasi karena salah satunya tidak mengikuti perubahan zaman. Akibatnya, koperasi yang sempat bertahan dari badai krisis keuangan bersama KUMKM pun tidak menarik generasi muda.
"Dihadapkan koperasi dengan era globalisasi sekarang yakni era IT dan lain-lain bahwa organisasi ini perlu ada perubahan," katanya.
Saproni dalam mengerjakan penelitian disertasinya mewawancara pengurus dan anggota beberapa koperasi. Para pengurus koperasi ini hampir tidak ada yang berlatar IT.
"Dihadapkan dengan kondisi sekarang, harusnya supaya anak muda, IT, bisa dibuka di HP atau di media lainnya. Sekarang tidak ada koperasi memasarkan seperti itu. Kalau zaman dulu ada. Contohnya film, pak Raden terangkan tentang koperasi," ujarnya.
Selain itu, SDM koperasi juga harus andal dan mengikuti perkembangan dunia usaha. Menurutnya, SDM koperasi harus profesional seperti SDM di beberapa perusahaan terbatas yang maju.
Berani Menulis Koperasi
Promotor disertasi Saproni dari Universitas Borobudur, Jakarta, Prof. Dr. Faisal Santiago, S.H., MM, mengatakan, Saproni sangat berani menulis soal koperasi sehingga meraih gelar doktor dengan predikat sangat memuaskan.
"Waktu mau menulis disertasi saya tanya. Mau nulis apa? Koperasi. Waduh ngapain nulis koperasi. Koperasi itu sudah jelas, tidak jelas," kata Faisal menuturkan percakapannya dengan Saproni.
Mendapat jawaban tersebut, Saproni secara gigih mengeluarkan UUD 1945. Setelah itu, dia mengeluarkan UU Koperasi dan menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai menteri koperasi dan UKM.
"Lalu apa yang mau dibahas. Yang jelas dalam kacamata saya koperasi itu tidak jelas. Lalu ide itulah yang dituliskan jadi disertasi. Makanya dibuat model. Orang yang datang bukan utang," katanya.
Faisal mengungkapkan, koperasi pernah berjaya dan merambah dunia pada sekitar tahun 1960 ketika mengelola Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh.
"Terkenalnya waktu ngurusi cengkeh. Bisa mendunia dan menggelobal. Selamat kepada Saproni," ujarnya.



