Home Ekonomi Terus Berinovasi Mengembangkan Pangan Lokal

Terus Berinovasi Mengembangkan Pangan Lokal

Lahan subur dan kaya ragam tanaman pangan membuat Indonesia berpeluang besar menjadi negara yang mandiri dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Perlu pengembangan dan inovasi agar kebal terhadap serbuan pangan impor.

Jakarta, GatraReview.com - Keanekaragaman bumi Nusantara yang memiliki puluhan sumber karbohidrat, lemak nabati, kacang-kacangan, buah-buahan, sayurmayur, rempah, dan bumbu, jelas menjadi modal utama ketahanan pangan nasional. Dengan dukungan kondisi geografis dan berlimpahnya dataran rendah, intensitas sinar matahari yang memadai, curah hujan tinggi dan merata, serta keanekaragaman jenis tanah, dapat digunakan untuk membudidayakan aneka jenis tanaman dan ternak untuk sumber pangan.

Dengan modal itu, bisa dikatakan pertanian Indonesia sangat memungkinkan jadi penghasilan utama masyarakat. Menurut Badan Pusat Statistik (2012), sektor pertanian bahkan mampu menyerap 35% dari total angkatan kerja di Indonesia dan menyumbang 14,7% bagi produk nasional bruto (PNB) Indonesia.

Peringkat indeks ketahanan pangan Indonesia juga cukup baik. Pada 2019, The Economis Intelligence Unit menyebut Indonesia berada di posisi 62 dari 113 negara, di bawah Singapura, Malaysia, Tiongkok, Thailand, dan Vietnam. Namun Indonesia disebutkan unggul di atas Filipina, India, Myanmar, Kamboja, dan Laos.

Meski demikian, Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian (Kementan), Agung Hendriari, menyebut ada sejumlah tantangan yang dihadapi Indonesia. Di antaranya, skema keberlanjutan pangan dan tantangan geografis.

Jumlah penduduk makin naik, maka konsumsi masyarakat pasti lebih beragam. Artinya, kita harus memproduksi bahan pangan secara berkelanjutan dan beragam. Dari sisi geogra?s, Indonesia begitu luas dengan lebih dari 17.000 pulau dan delapan zona iklim. Otomatis distribusi pangan menemui sejumah hambatan.

‘‘Tidak semua daerah bisa memproduksi cabai, misalnya. Ada daerah yang bisa produksi padi, ada yang tidak,’’ kata Agung kepada GATRA REVIEW. Efeknya akan terasa pada perbedaan biaya dalam distribusi pangan. Salah satu strategi yang coba dijalankan, yakni membuat tiap wilayah memiliki sentra-sentra produksi komoditas.

Ancaman Pangan Impor

Terancam di negeri sendiri. Kekhawatiran tersebut menjadi hal wajar di era terbuka sekarang ini. Sebuah era ketika perdagangan bebas antarnegara lumrah dilakukan, termasuk terkait isu pangan dan kebutuhan impor dari negara lain.

Bukan rahasia lagi, Indonesia juga salah satu negara yang rajin impor beberapa bahan pangan. Dengan salah satu negara berpenduduk terbesar di dunia, beberapa komoditas tidak tercukupi dari produksi dalam negeri. Pangan lokal yang diharapkan memenuhi kebutuhan masyarakat sekaligus menjadi sumber penghasilan, rasanya belum maksimal digarap.

Agung menilai, keputusan mengimpor bahan pangan dari luar tidaklah haram. Negara lain melakukan hal serupa, terutama ketika dalam negeri tidak mampu memproduksi atau kekurangan pasokan. ‘‘Dalam perdagangan internasional, kalau kita mau ekspor, ya mesti impor juga, dong,’’ katanya.

Untuk pangan hasil pertanian, ada dua komoditas yang masih impor: bawang putih dan daging sapi. Bawang putih merupakan tanaman subtropik yang tumbuh di daerah tertentu saja. Indonesia bukan negara yang mampu menghasilkan bawang putih, sedangkan daging sapi masih belum swasembada karena populasinya kurang.

Untuk mengakali kekurangan daging sapi, Indonesia sebenarnya punya potensi sejenis lainnya yang termasuk dalam ragam protein. Selain daging sapi, ada ikan, kambing, kerbau, ayam, dan telur. Daging ayam dan daging kambing sendiri merupakan komoditas yang termasuk berlebih, bahkan mampu ekspor.

Selain sapi dan bawang, Indonesia juga gemar mengimpor gandum. Namun ada catatan khusus soal ini. Gandum sebagai bahan pembuat mi instan diimpor karena Indonesia mampu mengubahnya menjadi komoditas pangan berkualitas ekspor. Bahan-bahan tambahan lainnya ikut terdampak, karena menjadi bagian dari bahan yang diekspor juga.

‘‘Indonesia itu ekspor mi instan terbesar di dunia dan saat produk mi ini diekspor, yang bonceng banyak, lho. Bawang kering ikut, daun bawang, rempah-rempah, itu ya bonceng semua,’’ Agung mengungkapkan.

Diversifikasi dan Promosi

Demi mencegah ketergantungan pada bahan pangan impor, tidak ada pilihan selain memaksimalkan potensi keragaman pangan yang ada. Bisa dilakukan dengan kampanye pangan lokal sehat dan memenuhi kebutuhan gizi.

Kampanye itu menyasar generasi muda dengan harapan dapat lebih mencintai pangan lokal. Caranya, membangun pasar industri pangan lokal yang berdaya saing dengan terus memenuhi kebutuhan domestik.

‘‘Misalnya, industri kue. Indonesia punya segudang jenis kue seperti rol talas, cake talas, cake sagu, bika ambon. Begitu, kan, makanan lokal semua dan bisa kita promosikan,’’ kata Agung. Sagu sendiri sangat banyak jenis olahannya. Begitu juga singkong dan jagung.

Agung yakin betul, suatu saat pangan lokal menguasai pasar pangan dalam negeri. Sudah terlihat dari animo masyarakat akan kuliner lokal. Bahkan didukung dengan kebijakan beberapa instansi pemerintah yang mewajibkan rapat aparat negara bisa diisi dengan kudapan produk lokal.

Meski demikian, menjalankan skenario diversi?kasi bukan tanpa tantangan. Petani sudah banyak yang beralih menanam tanaman lokal, tetapi konsumen perlu edukasi agar mau beralih. ‘‘Anda juga enggak mau, kan, biasa makan nasi diganti singkong,’’ ucap Agung.

Tantangan selanjutnya, apakah mampu memproduksi bahan baku itu secara kontinu? Misalnya, sagu masih dibiarkan menjadi tanaman hutan. ‘‘Kita belum mulai masif membudidayakan dengan baik, sehingga produktivitasnya kurang. Kemudian singkong, apakah kita bisa produksi dalam satu ha menghasilkan 40 ton? Sementara kita masih di bawah 25 ton/ha,’’ ujar Agung.

Petani saat ini sudah memahami pangan lokal, termasuk budi dayanya. Namun ketika permintaan tidak ada, petani akan menganggap komoditas pangan lokal, seperti umbiumbian, tidak punya nilai ekonomi tinggi.

Di sisi lain, belum banyak produsen pangan lokal yang paham branding atau penjenamaan. Padahal, jika mau ma suk skala industri, pangan lokal harus dikemas menarik. Setidaknya, untuk kelas menengah dan mikro. BKP sendiri ada program pengembangan pangan lokal, serta mendatangkan konsultan penjenamaan. Baru kemudian bicara peningkatan produksi dengan membuka peluang pasar internasional.

Agung mengatakan, total ekspor pertanian kita saat ini bernilai Rp160 triliun lebih. Menggambarkan betapa luasnya peluang pasar internasional. Angka itu masih bisa meningkat tiga kali sampai 2024. ‘‘Kita lakukan analisis produk pertanian dalam negeri, apa yang cocok untuk diekspor. Misalnya, jeruk seperti apa yang cocok, lalu kita dorong tingkat produksinya sebanyak tiga kali lipat. Kita juga melihat pasar-pasar baru lainnya,’’ tuturnya.

Menurut Ketua Asosiasi Hortikultura Indonesia, Anton Muslim, jika ingin diversifikasi impor pangan, produk yang selama ini diimpor, seperti gandum dan beragam produk hortikultura semacam jeruk serta anggur, harus dikaji ulang. Menurutnya, Indonesia tentu harus menjadi negara yang mandiri dari sisi ketahanan pangan.

Thailand misalnya, terbilang sangat baik dalam melakukan industrialisasi produk hortikultura. Produknya, seperti durian bangkok serta macam buah-buahan lain. ‘‘Mestinya kita bisa lakukan itu, harus ada political will, ada good will. Basis itu kita perkuat, karena pangan itu kan meliputi hortikultura, persediaan jagung, dan sebagainya,’’ katanya kepada Erlina Fury Santika dari GATRA REVIEW.

Fokus Pada Sumber Karbohidrat dan Protein

Selain itu, kadar gizi pada bahan pangan lokal bisa dikatakan sangat baik dan mampu bersaing. Riset Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian (BB-Pascapanen) Kementan menunjukkan, pangan lokal memiliki nilai gizi lebih baik dari beras dan terigu.

‘‘Keunggulan jagung dan sorgum, mayoritas kadar gulanya rendah. Jadi, penderita diabetes itu mau makan 2-3 kali lipat dari porsi normal makan nasi tidak masalah, kadar gulanya tak bakal naik,’’ ujar peneliti utama di BB-Pascapanen Kementan, Sri Widowati, saat ditemui Dwi Reka Barokah dan tim GATRA REVIEW di Bogor, Selasa, 11 Februari lalu.

Berdasarkan hasil riset BB-Pascapanen, ditemukan 14 jenis pangan lokal yang layak dikonsumsi setiap hari. Jenis-jenis pangan tersebut, yaitu ganyong, garut, hanjeli, jagung, kentang, labu kuning, pisang, sagu, sorgum, sukun, talas, ubi jalar, dan ubi kayu. Dari sejumlah pangan lokal tersebut, jagung, sorgum, dan ubi kayu dapat diolah menjadi nasi. Artinya, kebutuhan beras masyarakat sebetulnya dapat digantikan dengan ketiga jenis pangan lokal itu.

Hasil penelitian juga menunjukkan, setiap jenis pangan lokal mampu menggantikan fungsi terigu untuk produk yang tidak menghendaki sifat mengembang. Pangan lokal dapat diolah menjadi produk berupa tepung yang lebih ?eksibel dan dimanfaatkan untuk memproduksi berbagai jenis makanan.

Tepung pangan lokal dapat menjadi substitusi produk roti sebesar 10-20%, mi 10-30%, cake 50%, dan kue kering atau cookies 100%. Bahkan tepung pangan lokal, dewasa ini juga dapat dipergunakan untuk mengolah mi gluten free tanpa menggunakan terigu.

Guru Besar Pangan dan Gizi IPB, Prof Ali Khomsan, menilai dari sisi keutamaan gizi pengembangan pangan lokal. Menurutnya, masyarakat di masa mendatang bergantung pada sumber pangan karbohidrat dan protein. Namun, sumber dari karbohidrat belum banyak termanfaatkan. Saat ini, kita masih sangat bergantung pada beras, sedangkan pengembangan umbi-umbian sebagai bahan pangan pokok kedua nyaris tertinggal. ‘‘Sehingga pangan lokal umbi-umbian ini jatuhnya sebagai snack saja dan belum bisa menggantikan beras atau nasi sebagai bahan pokok,’’ ujar Ali kepada Wahyu Wachid Anshory dari GATRA REVIEW.

Sebagian besar umbi-umbian masih diolah menjadi makanan ringan yang konsumsinya tidak sebesar ketika digunakan sebagai pangan pokok. Menurut Ali, jika diversifikasi pangan hendak mengarah pada pangan nonberas, slogan one day no rice perlu digalakkan, seperti pernah dilakukan Pemkot Depok.

Pendapat lain datang dari pakar gizi kesehatan masyarakat Universitas Indonesia, Gusnedi. Ia menilai, pengembangan pangan lokal juga harus diketahui tujuannya. Misalnya, untuk konsumsi harus dipetakan berapa orang yang konsumsi dan ada di mana. Pemetaan wilayah berdasar daerah sangatlah penting. Kalau untuk industri, perhatikan komposisi bahannya. Apakah banyak impor atau lokal.

Selanjutnya, barulah merangkul pihak swasta. Petakan sub-pengolahannya seperti apa. Misal, tepung-tepungan. Terigu masih sangat mendominasi, padahal banyak bahan makanan lain yang potensial, seperti tapioka, tepung beras, dan tepung jagung yang bisa diproduksi skala industri.

‘‘Kalau kita lihat dari, misalnya, bahan makanan sumber karbohidrat saja, ada tepung. Itu, kan, bisa diolah dari umbi-umbian, biji-bijian kayak jagung, ubi kayu, ubi jalar, dan kacang-kacangan seperti kacang kedelai atau kacang hijau. Itu, kan, merupakan bahan baku industri yang bisa dibudidayakan,’’ tutur Gusnedi kepada Erlina Fury Santika dari GATRA REVIEW.

Selain itu, jangan lupa pula, produk perikanan Indonesia juga tak kalah banyaknya. ‘‘Kita, kan sumber perikanannya dari laut, tawar. Berbagai jenis macam ikan bisa menjadi bahan industri, misalnya ikan kaleng, bahkan untung. Itu sudah banyak untuk ekspor dan merupakan bahan makanan yang padat gizi,’’ kata Gusnedi lagi.

520