Home Politik Evi Novida Minta DKPP Batalkan Putusan Pemecatan

Evi Novida Minta DKPP Batalkan Putusan Pemecatan

Jakarta, Gatra.com - Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Evi Novida Ginting Manik, meminta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) membatalkan putusan Nomor 317-PKE-DKPP/2019 karena melanggar asas legalitas.

"Kepada DKPP Republik Indonesia untuk membatalkan putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/2019," kata Evi saat mengajukan keberatan atas putusan pemecetanya di DKPP, Jakarta, Senin (23/3).

Selain itu, Evi juga meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menunda pelaksanaan putusan DKPP Nomor DKPP 317-PKE-DKPP/2019 tersebut. Putusan ini menyatakan Evi dipecat sebagai anggota KPU.

Evi menjelaskan, putusan DKPP tersebut cacat prosedur dari sisi mekanisme beracara maupun dalam proses pengambilan keputusan. Perbuatan tersebut tidak saja telah mengesampingkan hukum tetapi juga telah secara nyata melanggar asas legalitas sehingga berpotensi melangar etika penyelenggara pemilu.

Poin keberatan Evi di antaranya DKPP tidak melaksanakan ketentuan Pasal 36 Ayat (2) Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum.

Ketentuan di atas menyatakan bahwa "rapat pleno Putusan dilakukan secara tertutup yang dihadiri oleh 7 (tujuh) orang anggota DKPP kecuali dalam keadaan tertentu dihadiri paling sedikit 5 (lima) orang”.

"Perlu saya sampaikan bahwa dalam memutuskan putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 rapat pleno hanya dihadiri oleh 4 (empat) orang anggota DKPP, sebagaimana dapat dibaca dalam putusan DKPP halaman 34 bagian penutup," ungkapnya.

Dengan demikian, lanjut Evi, putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 tidak memenuhi syarat kuorum rapat pleno untuk menjatuhkan putusan. DKPP semestinya mempertimbangkan syarat ini. Terlebih pada pengaduan DKPP No. 317-PKE-DKPP/X/2019 teradu adalah Ketua dan Anggota KPU, sedangkan Bawaslu hanya menjadi pihak terkait, sehingga anggota Bawaslu ex officio anggota DKPP dapat menjadi majelis dan atau terlibat dalam pengambilan keputusan.

Selain itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tanggal 12 Maret 2020 sudah mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) Republik Indonesia Nomor 30/P Tahun 2020 tentang pergantian Antarwaktu Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Masa Tugas Tahun 2017-2022.

Kepres tersebut yang pada pokoknya mengangkat Sdr. Didik Supriyanto sebagai anggota Dewan Kehormatan Penyelenggaran Pemilihan Umum dalam sisa masa tugas 2017-2022.

"Keputusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 dibuat dengan cara yang terburu-buru, tidak cermat, tidak mempertimbangkan kuorum ini mestinya dinyatakan cacat hukum dan harus dinyatakan batalkan demi hukum," ujarnya.

Poin keberatan Evi selanjutnya bahwa dalam pertimbangan hukum DKPP menyatakan bahwa Evi selaku Teradu VII sebagai Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan dan Logistik Pemilu berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 1219/ORT.01-Kpt/01/KPU/VII/2019 tanggal 19 Juli 2019, memiliki tanggungjawab etik lebih besar atas ketidakpastian hukum dan ketidakadilan akibat penetapan hasil Pemilu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan validitas dan kredibilitasnya.

"Menurut hemat saya tuduhan ini terlalu berlebihan, sebab dalam mekanisme pengambilan keputusan di Komisi Pemilihan Umum tidak tersedia ruang bagi koordinator divisi untuk mengambil keputusan sendiri, tapi diambil melalui mekanisme rapat pleno dengan prinsip kolektif kolegial," ujarnya.

Menurut Eni, koordinator divisi hanya berfungsi untuk mengkoordinasi, mengendalikan, membina, melaksanakan, gugustugas divisi yang juga harus dipertangungjawabkan dalam rapat pleno. Bahwa, baik dalam laporan pengadu maupun dalam fakta persidangan tidak ada secara spesifik membahas peran teradu VII dalam mengendalikan apalagi mengintervensi putusan KPU Provinsi Kalimatan Barat.

Selanjutnya juga, tandas Evi, tidak ada bukti perbuatan yang dilakukan, bagaimana melakukan, kapan dilakukan, di. mana dilakukan, yang dapat secara nyata menjadi alasan untuk menyatakan bahwa teradu VII secara inperson dapat dikategorikan melakukan perbuatan ketidakadilan yang menyebabkan hasil Pemilu tidak dapat dipertanggungjawabkan validitas dan kredibilitasnya, sehingga tidak cukup alasan hukum untuk membebankan sanksi pemberhentian secara tetap dari anggota kepada teradu VII.

Kemudian, supervisi KPU Republik Indonesia kepada KPU Provinsi Kalimatan Barat untuk melaksanakan Putusan MK Nomor 154-02-20/PHPU.DPR-DPRD/XII/2019 adalah semata-mata untuk memberikan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.

Putusan MK tersebut yakni “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk memutus perselisihan hasil pemilihan umum."

134