Home Politik ABK Meninggal di Kapal China, Pemerintah Diminta Investigasi

ABK Meninggal di Kapal China, Pemerintah Diminta Investigasi

Jakarta, Gatra.com – Publik tengah digemparkan dengan adanya dugaan praktik eksploitasi anak buah kapal (ABK) asal Indonesia di kapal ikan China, Long Xing. Kabar itu diberitakan oleh stasiun televisi Korea Selatan, MBC, yang melaporkan keberadaan WNI dengan kondisi kerja yang sangat memprihatinkan, atau dikenal sebagai perbudakan di atas kapal.

Anggota Komisi I DPR RI Sukamta menyatakan pemerintah harus memastikan keselamatan WNI yang menjadi ABK di kapal ikan berbendera China tersebut. Lebih jauh, dirinya meminta dilakukannya investigasi menyeluruh atas kemungkinan pelanggaran HAM yang terjadi atas kematian 3 WNI yang dilarung ke laut oleh pihak kapal.

“Meski sudah ada penjelasan dari KBRI Beijing bahwa pihak perusahaan katanya ikuti standar praktik kelautan internasional saat melarung 3 WNI yang meninggal, pemerintah harus melakukan investigasi secara menyeluruh terhadap masalah ini,” ujar Sukamta dalam keterangan yang diterima Gatra.com, Kamis (7/5).

Terlebih, lanjutnya, terdapat 15 ABK asal Indonesia yang melaporkan kejadian tersebut di Kota Busan dan meminta bantuan lembaga penegak hukum di Korea Selatan. Daripada simpang siur, legislator asal Dapil Yogyakarta itu meminta segera menindaklanjuti hal tersebut serta memastikan keselamatan WNI sebagai “harga mati”.

“Kita perlu pastikan apa yang sesungguhnya terjadi, pihak Interpol bisa dilibatkan untuk melakukan investigasi. Jika nantinya terbukti ada unsur pelanggaran HAM terhadap para ABK dengan dieksploitasi apalagi hingga menyebabkan kematian, pemerintah harus melayangkan nota protes kepada pemerintah China dan melakukan tuntutan hukum terhadap perusahaan kapal tersebut,” tegasnya.

Sukamta mengatakan kabar soal eksploitasi TKI yang bekerja sebagai ABK di kapal asing sudah beberapa kali terdengar. Selain mendapatkan upah yang tidak layak, para ABK juga cenderung mendapatkan perlakuan di luar batas kemanusiaan. “Yang kejadian ini, info yang kami dengar mereka bekerja 18 jam sehari, dan setelah bekerja selama sekitar 13 bulan hanya mendapatkan gaji hanya Rp 1,7 juta rupiah. Parahnya ketika meninggal, mayat ABK tersebut dibuang ke laut,” katanya.

Kejadian tersebut terangnya telah terjadi berulang kali, DPR menurutnya selalu meminta agar pemerintah memperketat penempatan TKI yang bekerja di luar negeri. Ia mengatakan sejak awal proses perekrutan ABK asal Indonesia sudah terkesan serampangan mulai dari kontrak kerja yang tidak jelas atau sepihak, kemudian rekrutmen yang harus melalui perantara atau sub agen dari penyedia tenaga kerja.

“Seringkali untuk berangkat, calon ABK malah harus membayar terlebih dahulu atau jika tidak ada deposit ABK akan bekerja 3-4 bulan tanpa diberi bayaran. Lebih mirisnya lagi ABK bisa tidak dibayar gajinya sampai kontrak kerja selesai dan kembali ke Indonesia. Kita sering menyebut mereka pahlawan devisa, harus dimaksimalkan pelayanan dan perlindungannya,” ujar Ketua DPP PKS Bidang Pembinaan dan Pengembangan Luar Negeri itu.

Ia mengatakan persoalan ini harus menjadi perhatian serius pemerintah, karena ABK yang bekerja di luar negeri dipayungi oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2020 Tentang Tata Cara Penempatan Pekerja Migran Indonesia Oleh Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. “Apalagi Indonesia telah meratifikasi Maritime Labour Convention 2006 (MLC 2006) pada tanggal 6 Oktober 2016 melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2016 tentang Pengesahan Maritime Labour Convention,” papar Doktor lulusan Inggris itu.

Sukamta juga meminta agar pemerintah memastikan hak-hak TKI baik gaji, pesangon, dan asuramsi dari pihak perusahaan khususnya dalam kasus meninggalnya 3 ABK WNI tersebut. “Mereka bekerja jauh dari tanah air untuk menghidupi keluarga. Jangan sampai keluarga hanya menerima berita kematian tanpa mendapatkan hak-hak dari perusahaan yang bisa digunakan untuk menyambung hidup keluarga,” pungkasnya.

236