Home Hukum Tim Advokasi Novel: Tuntutan JPU Kofirmasi Sandiwara Hukum

Tim Advokasi Novel: Tuntutan JPU Kofirmasi Sandiwara Hukum

Jakarta, Gatra.com - #TakSengaja sempat menjadi tranding tofik lini massa menyoal tuntutan jaksa kepada dua terdakwa kasus penyiraman air keras kepada Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan.

Tim Advokasi Hukum Novel menilai tuntutan 1 tahun penjara kepada terdakwa Rahmat Kadir Mahulette dan Rony Bugis, merupakan konfirmasi perkara ini hanya sandiwara hukum.

"Sandiwara hukum yang selama ini dikhawatirkan oleh masyarakat, akhirnya terkonfirmasi. Penuntut pada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta hanya menuntut dua terdakwa penyerang Novel Baswedan 1 tahun penjara," demikian pernyataan Tim Advokasi Novel Baswedan, Kurnia Ramadhana dan Andi Rezaldy yang diterima Gatra.com di Jakarta, Minggu (14/6).

Menurut tim kuasa hukum, tuntutan ini tidak hanya sangat rendah, akan tetapi juga memalukan serta tidak berpihak pada korban kejahatan. Novel yang merupakan penegak hukum dan menangani bayak kasus korupsi mengalami serangan brutal.

"Alih-alih dapat mengungkapkan fakta sebenarnya, justru penuntutan tidak bisa lepas dari kepentingan elit mafia korupsi dan kekerasan," ujarnya.

Sejak awal, Tim Advokasi Novel Baswedan mengemukakan bahwa terdapat banyak kejanggalan dalam persidangan ini. Pertama, dakwaan jaksa seakan berupaya untuk menafikan fakta kejadian yang sebenarnya. Sebab, jaksa hanya mendakwa terdakwa dengan Pasal 351 dan Pasal 355 KUHP terkait dengan penganiayaan.

"Padahal kejadian yang menimpa Novel dapat berpotensi untuk menimbulkan akibat buruk, yakni meninggal dunia. Sehingga Jaksa harus mendakwa dengan menggunakan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana," ujarnya.

Kedua, jaksa penuntut umum juga tidak menghadirkan saksi-saksi yang dianggap penting di persidangan. Dalam pantauan Tim Advokasi Novel Baswedan, setidaknya terdapat tiga orang saksi yang semestinya dapat dihadirkan di persidangan untuk menjelaskan duduk perkara sebenarnya.

Ketiga orang saksi itu pun juga diketahui sudah pernah diperiksa oleh Penyidik Polri, Komnas HAM, serta Tim Pencari Fakta bentukan Kepolisian. Namun, Jaksa seakan hanya menganggap kesaksian mereka tidak memiliki nilai penting dalam perkara ini.

"Padahal esensi hukum pidana itu adalah untuk menggali kebenaran materiil, sehingga langkah jaksa justru terlihat ingin menutupi fakta kejadian sebenarnya," ujar dia.

Adapun kejanggalan ketiga, peran penuntut umum terlihat seperti pembela para terdakwa. Hal ini dengan mudah dapat disimpulkan oleh masyarakat ketika melihat tuntutan yang diberikan kepada dua terdakwa.

Tak hanya itu, saat persidangan dengan agenda pemeriksaan Novel pun jaksa seakan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan penyidik KPK ini.

"Semestinya jaksa sebagai representasi negara dan juga korban, dapat melihat kejadian ini lebih utuh, bukan justru membuat perkara ini semakin keruh dan bisa berdampak sangat bahaya bagi petugas-petugas yang berupaya mengungkap korupsi ke depan," ujarnya.

Menurut Tim Advokasi Hukum Novel, persidangan kasus ini juga menunjukkan hukum digunakan bukan untuk keadilan, tetapi sebaliknya hukum digunakan untuk melindungi pelaku dengan memberi hukuman “alakadarnya”, menutup keterlibatan aktor intelektual, mengabaikan fakta perencanaan pembunuhan yang sistematis, dan memberi bantuan hukum dari Polri kepada pelaku.

"Padahal jelas menurut Pasal 13 Ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 menyatakan bahwa pendampingan hukum baru dapat dilakukan bilamana tindakan yang dituduhkan berkaitan dengan kepentingan tugas," ujarnya.

Atas dasar itu, Tim Advokasi Novel Baswedan menuntut majelis hakim tidak larut dalam sandiwara hukum ini dan harus melihat fakta sebenarnya yang menimpa Novel Baswedan. Kemudia, Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membuka tabir sandiwara hukum ini dengan membentuk Tim Pencari Fakta Independen.

"Komisi Kejaksaan mesti menindaklanjuti temuan ini dengan memeriksa Jaksa Penuntut Umum dalam perkara penyerangan terhadap Novel Baswedan," katanya.

Terkait pernyataan ini, Gatra.com sudah berupaya meminta tanggapan kepada Kepala Seksi Pidana Umum (Kasipidum) Kejaksaan Negeri Jakarta Utara (Kejari Jakut) dan Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasiepenkum) Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, namun kedunya tidak merespons.

171