Home Hukum Hakim Bisa Hukum Penyiram Novel Lebih Berat dari Tuntutan

Hakim Bisa Hukum Penyiram Novel Lebih Berat dari Tuntutan

Jakarta, Gatra.com - Majelis hakim perkara penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, mempunyai kewenangan untuk memutuskan menghukum dua terdakwa tak sesuai tuntutan jaksa penuntut umum yang menyatakan mereka tak sengaja menyiram bagian muka Novel menggunakan air keras.

"Secara yuridis, hakim mempunyai kebebasan untuk memutus sesuai keyakinannya yang didasarkan pada alat bukti (independensi judiciary) vide Pasal 183 KUHAP," kata Abdul Fickar Hadjar, pakar hukum pidana dari Universitas Trisaksi (Usakti) Jakarta, Minggu (14/6).

Menurut Fickar, kebebasan hakim ini dibatasi oleh ancaman maksimal dari ketentuan yang dilanggar. Hakim tidak terikat pada tuntutan Jaksa Penuntut Umum, meski di banyak putusan hakim memutus di bawah tuntutan JPU.

"Tetapi sesungguhnya, sepenuhnya memutuskan sebuah perkara merupakan kebebasan yang didasarkan pada keyakinannya berdasar fakta persidangan," ujarnya.

"Dan karena hakim memutus juga atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, maka titik terberat tanggung jawabnya adalah kepada Tuhan selain kepada sesama manusia," katanya.

Sakralitas sebuah putusan dalam konstruksi yuridis dirumuskan dalam kewajiban untuk mempertimbangkan tiga hal, yaitu kepastian hukum (wetmatigheid), rasa keadilan dalam masyarakat (rechtmatigeheids), dan kemanfaatannya dalam masyarakat (doelmatigeheids).

Ada beberapa kasus yang salah satunya contohnya putusan hakim melebihi tuntutan. Putusan tersebut terjadi pada tahun 2018 lalu, yakni majelis hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan putusan terhadap terdakwa Jenifer Dunn bersalah melanggar Pasal 112 Ayat (1) juncto Pasal 132 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Majelis hakim memvonis terdakwa Jenifer Dunn dengan pidana penjara selama 4 tahun dan pidana sebesar Rp18 juta subsider 2 bulan penjara. Vonis atau putusan ini jauh lebih berat dari tuntutan JPU yang hanya menuntut terdakwa Jenifer Dunn dengan 8 bulan penjara.

"LPrinsip atau asas ultra vires dalam putusan, yaitu hakim tidak boleh melebihi permintaan para pihak, hanya berlaku pada kasus perdata, karena lahirnya persidangan perdata itu disebabkan adanya gugatan penggugat," ujarnya.

Karena itu, menurut Fickar, putusan tidak boleh melebihi yang diminta dalam gugatan dan jawaban para pihak. Sedangkan dalam kasus pidana yang lahir karena adanya pelanggaran terhadap "kepentingan umum" in casu hukum pidana (KUHP), maka batasan besarnya putusan didasarkan pada ancaman maksimal ketentuan pasal yang dilanggar, bukan pada tuntutan jaksa penunut umum.

"Putusan lain yang melebihi tuntutan Jaksa juga pada putusan pengadilan atas tindak pidana penistaan agama yang dilakukan oleh terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok," ungkapnya.

Pengadilan Negeri Jakarta Utara memvonis terdakwa Ahok terbukti secara sah dan menyakinkan memenuhi unsur Pasal 156a KUHP dan menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 2 tahun. Padahal, JPU hanya mentutut Ahok dengan tuntutan 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun karena melanggar Pasal 156 KUHP.

"Dengan preseden yang ada, mudah-mudahan para hakim Indonesia, mulai dapat mengembangkan kemandiriannya, tanpa merasa tersandera oleh kekuasaan lain," katanya.

Soal polemik ini, Gatra.com sudah berupaya meminta tanggapan kepada Kepala Seksi Pidana Umum (Kasipidu) Kejaksaan Negeri Jakarta Utara (Kejari Jakut) dan Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta.

Sebelumnya, jaksa penuntut umum menuntut Rahmat Kadir Mahulette masing-masing dijatuhi 1 tahun penjara karena dinilai terbukti melanggar dakwaan subsider yakni Pasal 353 Ayat (2) KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Menurut penuntut umum, keduanya tidak terbukti melanggar dakwaan primer karena mereka tidak sengaja menyiram bagian muka Novel? menggunakan air keras atau asam sulfat. Mereka dinyatakan terbukti melakukan penganiayaan berat secara terencana.

916