Home Kebencanaan New Normal Diterapkan Disaat yang Tidak Aman

New Normal Diterapkan Disaat yang Tidak Aman

Jakarta, Gatra.com - Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia dr. Iwan Ariawan mengatakan bahwa pemerintah menerapkan new normal pada saat kondisi sama sekali tidak aman untuk bergerak. 

"Kalau kita keluar resikonya masih tinggi. Kami sudah memberikan masukan tetapi mengambil keputusan adalah para politisi yang berbeda dari masukan yang diberikan," kata Iwan pada telekonferensi pers di kanal YouTube Para Syndicate, Minggu (21/6). 

Iwan menyebut, ketika wabah Covid-19 baru merangsek masuk ke Indonesia, ia bersama rekan-rekan epidemiolog lainnya diminta pemerintah untuk melihat bagaimana model dari epidemi tersebut. Setelahnya, didapati kesimpulan bahwa ini merupakan masalah serius dan berpotensi menjadi pandemi besar jika pemerintah tidak bertindak. 

"Namun, keputusan tidak hanya dari epidemiolog, tetapi juga para ekonom dan segala macam, sehingga sudah diputuskan bahwa ini sudah mulai akan diterapkan. Kalau begitu, ya, mau bagaimana lagi," ujarnya.  

Iwan menerangkan bahwa pada dasarnya pemerintah hanya memiliki senjata berupa tindakan pencegahan melalui rajin cuci tangan, pakai masker, dan jaga jarak dengan harapan itu bisa mencegah terjadinya kasus baru. 

"Tetapi saya tidak yakin juga karena persepsi risiko masyarakat masih rendah karena komunikasi masih kurang. Sebagian orang menganggap itu sebagai suatu larangan bukan karena mereka takut terinfeksi," tambahnya. 

Yang perlu diwaspadai adalah kurva yang terus meningkat. Hal ini jangan dimaknai sebagai gelombang kedua, melainkan gelombang pertama yang belum selesai, yang kasusnya masih terus meningkat. 

"Saya dengan teman-teman sedang mencoba untuk menghitung lagi apa yang akan terjadi. Semoga nanti ketika model kami sudah bisa jadi bahan bagi para pemerintah untuk kebijakan," ujarnya. 

Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio mengatakan bahwa sejak Februari silam, ia sudah meminta agar Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi untuk segera menutup bandara Manado, Ngurah Rai, dan Cengkareng dari penerbangan ke Cina, terutama Wuhan. 

Namun, hal itu tidak digubris, dan justru beberapa pejabat membuat pernyataan yang sembarangan. 

"Beberapa pejabat bilang bahwa makan saja nasi kucing nanti akan hilang seperti kata Menhub, atau kita berdoa saja karena ini daerah tropis seperti kata Menkes," kata Agus. 

"Banyak hal yang dibuat bercandaan di awalnya. Komunikasinya memang parah. Kita membuat regulasi lalu ngawurnya pol," imbuhnya.  

Mengenai kebijakan pemerintah tidak menggunakan kerangka hukum terkait UU Kekarantinaan Wilayah Nomor 6 Tahun 2018 yang kemudian malah menerbitkan PP, dan kemudian Peraturan Menteri (Permen) No 9 yang merupakan cikal bakal untuk penentuan PSBB. 

Tapi, tiba-tiba, ada intervensi dari Menteri Perhubungan dengan terbitnya Permen No 18 yang ambigu dengan Permen No 9," ucapnya. 

Sebelumnya, Agus juga mengimbau agar pemerintah segera melakukan lockdown, tetapi hal itu tidak pernah diputuskan. Pemerintah, kata Agus, tidak memiliki anggaran yang cukup untuk menyediakan kebutuhan masyarakat selama karantina. Maka diterapkan PSBB. 

Namun, bansos pun amburadul. Menurut Agus, persoalan itu menambah kekacauan penanganan Covid-19. Jadi dari sisi kebijakan bukan didasari pada aspek-aspek saintifik. Padahal, pemerintah seharusnya tidak mengambil kebijakan tanpa asas saintifik.

145

KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR