Home Politik Komisi I Dorong Kebijakan Internet Murah dan Terjangkau

Komisi I Dorong Kebijakan Internet Murah dan Terjangkau

Jakarta, Gatra.com – Musim pandemi wabah corona (Covid-19) membuat masyarakat lebih banyak berdiam dan bekerja dari rumah. Oleh karenanya penggunaan internet meningkat tajam selama kondisi work from home (WFH) berlangsung. Data Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) menyebutkan penggunaan internet di masa pandemi meningkat hingga 443%. Namun sayangnya masih terdapat 12.548 desa yang belum bisa mengakses internet dengan baik.

Anggota Komisi I DPR Sukamta mengatakan kondisi tersebut anomali dengan program pemerintah yang ingin meningkatkan akses informasi kepada seluruh lapisan masyarakat. “Pada masa pandemi sekarang, akses internet jadi andalan semua kegiatan. Anggaran rumah tangga untuk internet bisa jadi sudah melebihi anggaran untuk makan dan transportasi. Para pekerja pun sebagian masih melakukan WFH meski sudah bertahap working from office (WFO). Anak-anak sekolah juga masih belum boleh masuk sekolah sehingga harus belajar via online (SFH),” ujarnya.

Atas alasan itu, dirinya mendorong agar pemerintah membuat konsep internet terjangkau dari segi harga beserta kemudahan akses internet di semua wilayah. Wakil Ketua Fraksi PKS itu menjelaskan terjangkau dari segi harga maksudnya ada keberpihakan negara khususnya bagi masyarakat kecil, pengemudi ojek online, dan UMKM.

“Negara sebisa mungkin menggratiskan internet. Atau jika tidak bisa, setidaknya mengurangi biaya internet. Berilah subsidi internet utamanya kepada anak-anak sekolah, UMKM dan pengemudi ojek online. Negara perlu berpihak agar meringankan pengeluaran internet ketika pendapatan sedang turun dan negara tidak bisa memberikan BLT kepada mereka,” ujar Sukamta dalam keterangannya kepada Gatra.com, Senin (22/6).

Ia juga meminta pemerintah menjamin internet terjangkau dari segi cakupan wilayah sinyal agar semua daerah mendapat akses internet merata. “Sampai saat ini banyak daerah yang belum terjangkau internet. Ada siswa SMP yang harus jalan kaki 2,5 km supaya bisa dapat sinyal internet. Juga tidak boleh dilupakan internet untuk pesantren daerah terpencil. Semoga program seperti Palapa Ring bisa menjadi jawaban atas masalah ini,” tambahnya.

Dirinya menyebutkan pemerintah tidak perlu khawatir terhadap adanya kompensasi tersebut. Pemerintah menurutnya tinggal menghitung subsidi yang diberikan kepada masyarakat atas kebijakan tersebut. “Saya kira saat ini internet provider sudah lebih dari BEP (break event point) sehingga seharusnya kita bisa sharing beban. Mereka mengurangi keuntungannya dan pemerintah memberikan subsidi untuk internet ini.”

Ia menambahkan saat ini biaya untuk pembelian pulsa terus mengalami peningkatan. Sementara dari sisi kebijakan masih banyak ditemukan sisi lemah terhadap pengawasan industri digital. “Pulsa internet yang dirasakan masih mahal ini, berapa kuota yang habis untuk tayangan iklan? Begitu pula berapa banyak dana iklan yang disedot Facebook dan platform lainnya dari Indonesia sementara mereka tidak membayar pajak?,” tambahnya.

Doktor lulusan Inggris itu merincikan untuk tipe iklan di Facebook untuk kelas tertinggi terdapat 70 ribu pengiklan dari seluruh dunia yang membayar US$ 5000 US per hari yang nilainya setara dengan Rp5250 T. Bayangkan saja berapa juta masyarakat Indonesia yang setiap hari menghabiskan waktunya bermain Facebook dan tidak menyadari internetnya terpakai untuk melihat iklan di halam tersebut.

“Belum lagi iklan di bawahnya dari seluruh dunia. Kalau pengguna yang dari Indonesia saja misalkan ada 5%-nya, maka itu senilai Rp215 T. Sayangnya dengan simulasi penghasilan sebesar itu mereka tidak membayar pajak, sehingga secara nasional sebetulnya bangsa kita dirugikan, dan ini sangat kita rasakan ketika bangsa ini sedang butuh anggaran seperti dalam masa pandemi ini,” ujar wakil rakyat dari Daerah Istimewa Yogyakarta itu.

103