Home Ekonomi Kontroversi Tapera, Skema dan Tantangan

Kontroversi Tapera, Skema dan Tantangan

Menyoal Urgensi Program Tapera dan Peran Pemerintah

Oleh: Carmelo Ferlito*

Di beberapa negara seperti Malaysia, bukan hal jarang bahwa di kalangan masyarakat berusia muda mengeluhkan kesulitannya untuk mempunyai rumah setelah lulus, terlebih lagi di Indonesia. Sementara di Eropa sudah menjadi local wisdom bahwa kepemilikan rumah baru akan tercapai ketika seseorang telah mencapai tahap mapan di dalam karier dan pekerjaannya.

 

Pemerintah Indonesia mencoba meningkatkan kepemilikan rumah bagi masyarakat luas melalui program Tapera berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat. Dalam aturan itu, pemerintah mewajibkan setiap pekerja baik ASN maupun swasta untuk berkontribusi dalam skema program cicilan kredit rumah.

Akan tetapi banyak keprihatinan dari kalangan masyarakat mengenai skema tersebut dimana banyak rumah tangga mengalami masalah keuangan akibat resesi ekonomi yang terjadi secara domestik maupun internasional, sehingga penambahan pemotongan dari gaji (selain dari BPJS) akan sangat memberatkan masyarakat.

Terdapat beberapa poin yang kami harap menjadi perhatian dari permasalahan Tapera ini (juga program lain dengan skema serupa). Implementasi dari skema tersebut didasari oleh dua (2) alasan pokok. Pertama, untuk mencapai angka kepemilikan rumah yang tinggi. Kedua, pemerintah harus mengintervensi pasar agar kebijakan tersebut bisa tercapai.

Tentu banyak kalangan sepakat bahwa kepemilikan rumah yang tinggi merupakan tujuan baik pemerintah. Kita akan menemukan sedikit sekali orang yang menolak gagasan tersebut. Hal itu merupakan bagian dari gagasan populer bahwa memiliki tempat tinggal merupakan salah satu tujuan terpenting dari setiap manusia, dan hal itu harus tercapai sesegera mungkin.

Di beberapa negara seperti Malaysia, bukan hal jarang bahwa di kalangan masyarakat berusia muda mengeluhkan kesulitannya untuk mempunyai rumah setelah lulus, terlebih lagi di Indonesia. Sementara di Eropa sudah menjadi local wisdom bahwa kepemilikan rumah baru akan tercapai ketika seseorang telah mencapai tahap mapan di dalam karier dan pekerjaannya.

Akan tetapi perlu diketahui bahwa preferensi untuk memiliki sebuah aset merupakan kerangka berpikir yang subjektif, yang artinya sangat bervariasi dari satu individu ke individu lain. Nilai utama tidak menjadi seorang pemilik rumah itu relatif, dan berlaku bagi beberapa individu yang memang mempunyai keinginan untuk memiliki rumah.

Artinya secara teknis, hanya orang-orang yang memilih menabung untuk masa depan dibandingkan menggunakan uangnya untuk berkonsumsi, dan orang-orang yang memiliki keinginan untuk memiliki rumah cenderung melakukan hal tersebut. Beserta sekelompok kecil masyarakat yang betul-betul memiliki orientasi terhadap masa depan yang stabil.

Selain itu terdapat orang-orang yang memiliki prefensi waktu jangka pendek (atau berorientasi masa sekarang). Mereka lebih memilih untuk melakukan konsumsi dibandingkan menyisihkan uangnya untuk menabung. Lalu apakah orang-orang tersebut “buruk” secara ekonomi? Apakah mereka hanya menyia-nyiakan uangnya hanya untuk berbelanja?.

Dalam kaidah ilmu ekonomi terdapat teori trade off dimana manusia selalu dihadapkan pilihan ketika melakukan kegiatan ekonomi, pilihan-pilihan tersebut didorong oleh preferensi yang bersifat subjektif dan ekspektasi akan masa depan. Hal tersebut dapat menjelaskan mengapa buat sebagian orang, kepemilikan rumah merupakan hal yang wajib di dalam kehidupan, untuk sebagian lain merupakan hambatan karena akan menghambat konsumsi mereka di masa sekarang ataupun mereka berada di kondisi yang membuat pekerjaan mereka berpindah dari kota ke kota lainnya.

Dengan kebijakan yang “memaksa” orang untuk tidak dapat melakukan konsumsi sesuai keinginannya malah akan membuat problem jangka panjang bagi produktivitas serta kebahagiaan mereka sendiri. Dengan menerapkan skema Tapera ini, pemerintah cenderung menetapkan kebijakan kepemilikan rumah secara “paksa”. Dimana nilai-nilai orang yang memilih untuk mempunyai kehidupan yang stabil dengan punya rumah cenderung “lebih baik” daripada mereka yang memilih untuk hidup lebih fleksibel dan dinamis.

Perilaku penentuan nilai seperti ini seharusnya dihindari dalam pengambilan kebijakan, dimana sebuah kebijakan harusnya bebas nilai dan netral. Pemerintah seharusnya bisa menjamin setiap anggota masyarakatnya untuk dapat bekerja keras mencapai cita-cita dan prefensi yang diinginkan.

Dalam situasi dunia yang cenderung penuh goncangan saat ini, banyak anggota masyarakat harus menyesuaikan kembali keinginan mereka untuk melakukan kegiatan ekonomi, lebih dari sebelumnya, pembuatan kebijakan tidak boleh diarahkan untuk mendorong perilaku tertentu dengan langkah-langkah yang secara langsung memengaruhi kapasitas pengeluaran rumah tangga, tetapi sebaliknya harus berorientasi pada membuat sumber daya bebas untuk bergerak ke arah yang ditentukan oleh preferensi individu.

*Penulis Research Advisor at PT. Provalindo Nusa, Jakarta, and Senior Fellow at the Institute for Democracy and Economic Affairs (IDEAS), Kuala Lumpur

366