Home Milenial Selamat Jalan Sapardi, Puisimu Abadi..

Selamat Jalan Sapardi, Puisimu Abadi..

pada suatu hari nanti

jasadku tak akan ada lagi

tapi dalam bait-bait sajak ini

kau takkan kurelakan sendiri

(Sapardi Djoko Damono, “Pada Suatu Hari Nanti”)

 

Jakarta, Gatra.com – Kabar duka menyelimuti dunia sastra tanah air. Penyair Sapardi Djoko Damono tutup usia pada Ahad (19/7) pagi di Rumah Sakit Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan. Dalam umurnya yang genap 80 tahun, Sapardi meninggalkan setumpuk karya berharga untuk dunia sastra Indonesia.

Nama Sapardi sudah melegenda dalam kesusastraan Indonesia. Ia adalah penyair, dosen, dan pegiat sastra penuh. “Duka-Mu Abadi” (1969) menjadi sekumpulan sajak pertamanya. Di dunia jurnalistik, ia pernah dipercaya menjadi redaktur majalah “Horison”, “Basis” dan “Kalam”.

Selain sastrawan, penyair bertopi kep itu juga dikenal sebagai penerjemah yang andal, salahsatunya terlihat dari buku terjemahannya “Lelaki Tua dan Laut” (Dari karya Ernest Hemingway, “The Old Man and The Sea”).

Tak banyak yang setia berkarya hingga terus dan lama. Dalam usia senja, Sapardi masih gigih berkarya. Sebuah perjalanan panjang kepenyairan yang menuntut kesetiaan. Pensiunan Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UI mengakui godaan berkarya terus menyelimutinya, sehingga upaya pensiun dari dunia sastra tak kurun bisa ia lakukan.

Kegelisahan ini pernah ia tulis dalam suatu pengantar “Ada Berita Apa Hari ini, Den Sastro?” (Indonesia Tera, 2002), ia merasa kumpulan sajak yang ditulisnya di 2001 itu akan menjadi yang terakhir. Ternyata tidak.

Bahkan dalam peringatan hari lahirnya yang ke-77 pada Maret 2017 lalu, Sapardi masih sempat meluncurkan tujuh mahakarya puisi yakni: Ada Berita Apa Hari ini, Den Sastro?, Ayat-ayat Api, Duka-Mu Abadi, Kolam, Namaku Sita, Sutradara itu Menghapus Dialog Kita, dan sebuah novel Pingkan Melipat Jarak (Novel kedua dari Trilogi Hujan Bulan Juni).

Penyair Joko Pinurbo, termasuk sastrawan yang mengagumi loyalitas dan dedikasi Sapardi terhadap dunia sastra Indonesia. Menurutnya dari usia Sapardi yang menua, ia tak lelah berkarya, memungut kata, berpetualang dari kota ke kota.

Bahkan beberapa puisi dan novel yang digubah Sapardi makin memperlihatkan kejelian dan kelihaian kreatifnya. “Justru yang saya kagumi bahwasanya kreativitasnya itu tidak mengenal usia, banyak loh orang yang umur 30-an tahun merasa putus asa, atau dia tidak berusaha untuk lebih gigih lagi berkarya,” ujar Jokpin dalam arsip wawancara Gatra.

Tak hanya produktif, Sapardi menurutnya aktif mencari bentuk baru dalam puisinya yang disebut sebagai pengembaraan kreatif. Tak heran bila meluncurkan buku pusi akan tampak eksprimen baru dari karya-karya Sapardi.

“Sangat langka di Indonesia, penyair dengan usia setua itu tetep, bukan hanya produktif tapi juga kreatif. Tapi ini juga penghiburan bagi kami yang muda-muda ini”. Jokpin mencontohkan perbedaan gaya bahasa pada “Duka-Mu Abadi”, “Mata Pisau” dan “Akuarium”. Belum lagi sentuhannya pada “Ada Berita Apa Hari Ini Den Sastro?” dan “Babad Batu”.

Jokpin menyebut Sapardi sebagai “guru” yang sederhana. Dalam beberapa pengakuannya, seperti ditulis dalam buku “Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang” (1984) suntingan Pamusuk Eneste, Sapardi menyebut dirinya kalah hebat dari penyair Lord Byron, Chairil Anwar dan Arthur Rimbaud.

Sapardi yang kelahiran Solo, 20 Maret 1940 itu mengaku masa kecilnya biasa saja. Bermain layang-layang, gobak sodor, gundu, adu cengkerik dan lainnya. “Saya bukan anak bandel yang suka membantah guru, saya bukan pula anak jagoan; hanya saja, saya tidak bodoh,” akunya.

Atas dedikasi yang tinggi dalam dunia sastra, Sapardi meraih banyak penghargaan di antaranya hadiah sastra ASEAN (SEA-Write Award) pada 1988, Penghargaan dari Freedom Institute (2003), dan Habibie Award (2016). Kepulangan Sapardi telah membawa kehilangan besar bagi dunia sastra Indonesia. Figur komplit itu telah pergi. Ya sastrawan, akademikus, kritikus, yang sulit tergantikan. Selamat jalan Sapardi!

515