Home Hukum Kasus Perbankan Harus Kedepankan Administrative Penal

Kasus Perbankan Harus Kedepankan Administrative Penal

Jakarta, Gatra.com - Tim kuasa hukum terdakwa Ardi Sedaka menilai surat dakwaan jaksa penuntut umum kepada kliennya dalam perkara tindak pidana perbankan, cacat formil. Kasus perbankan harusnya mengedepankan administrative penal.

"Surat dakwaan penuntut umum terhadap klien kami cacat formil," kata Didit Wijayanto Wijaya, anggota kuasa hukum terdakwa Ardi Sedeka di Jakarta, Selasa (21/7).

Didit mengungkapkan, pihaknya menilai demikian karena dalam surat dakwaan, penuntut umum mendakwa kliennya melakukan pelanggaran kebijakan atau aturan internal Bank Permata berupa trade cheking dan juga karena tidak adanya surat permohonan kredit yang diajukan pihak debitur, yakni PT MJPL.

Atas perbuatan tersebut, penuntut umum mendakwa Ardi selaku Client Relationship Head Bank Permata melanggar Pasal 49 Ayat 2b UU Perbankan juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP. Surat dakwaan telah dibacakan penuntut umum dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).

Menurutnya, ketentuan tersebut hanyalah aturan internal bank berdasarkan SK direksi tempat Ardi bekerja. Aturan tersebut bisa kapanpun diganti secara internal karena bukan perundang-undangan yang berlaku bagi bank.

"Bukan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi bank, sesuai dengan unsur terakhir dari Pasal 49 Ayat 2b dimaksud. Ketentuan mengenai trade checking tersebut tidak diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) atau Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) manapun," ujarnya.

Selanjutnya, kata Didit, dalam surat dakwaan, penuntut umum menggunakan aturan kadaluarsa, yakni soal kewajiban penyusunan dan pelaksanaan kebijakan perkreditan bagi bank umum sesuai surat keputusan direksi BI Nomor 27/162/KEP/DIR tahun 1995.

Menurutnya, ketentuan tersebut kadaluara karena sudah diganti oleh Peraturan OJK Nomor 42/POJK.03/2017 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan atau Pembiayaan Bank bagi Bank Umum.

"Apakah bisa mendakwa orang di persidangan peradilan pidana dengan peraturan yang telah daluarsa dan atau diterbitkan peraturan penggantinya," ujar dia.

Menurut Didit, penerapan Pasal 49 Ayat (2)b UU Perbankan tidak bisa serta merta dilakukan karena perlu menempuh langkah administratif terlebih dahulu melalui Surat Pembinaan, dan Surat Teguran.

Apabila bank tidak menetapkan langkah-langkah perbaikan, lanjut Didit, maka OJK melakukan pemeriksaan terlebih dahulu terhadap bank untuk menentukan siapa pejabat bank yang melakukan pelanggaran tindak pidana Pasal 49 Ayat 2b tersebut. Artinya, hukum pidana sebagai upaya terakhir dalam penegakan hukum.

Lebih jauh Didit menyampaikan, UU Perbankan bersifat administratif yang diperkuat sanksi pidana, sehingga jika suatu perkara bisa diselesaikan dengan cara lain, seperti tindakan administratif, maka penyelesaian dengan menerapkan hukum pidana tidak diperlukan.

Menurutnya, ketentuan pidana yang ada dalam UU Perbankan tidak langsung diterapkan apabila terjadi tindak pidana. Jadi, yang dimaksud Pasal 49 Ayat 2b UU Perbankan, maka aplikasinya menganut azas ultimum remedium.

"Artinya, ada admistrative penal dulu terhadap pejabat bank yang melakukan kekeliruan. Jadi jangan salah artikan Pasal 49 Ayat 2b itu," ujarnya.

Bukan hanya itu, Didit juga menyoal saksi terlapor dari penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Tipideksus) yang membuat Laporan Model A. Artinya, laporan tersebut dibuat berdasarkan temuan dari anggota Polri sendiri.

Laporan Model A itu, lanjut dia, hanya berdasarkan gelar perkara dari Direktorat Tindak Pidana Umum (Tipidum) yang menyidik perkara pembobolan Bank Permata oleh PT MJPL dengan plafon kredit senilai Rp1,6 triliun dan menyisahkan outstanding kredit sebesar kurang lebih Rp750 miliar.

Menurutnya, perihal saksi pelapor menjadi penyidik perkara pidana ini pernah dikatakan oleh Ahli Arbijoto sebagai abuse of power. Mahkamah Agung pun membebaskan terdakwa karena saksi yang ada hanyalah saksi penangkap dari kepolisian, karena saksi penangkap juga merupakan bagian dari penyidik yang mempunyai benturan kepentingan dan tidak memiliki kualitas sebagai saksi sesuai Hukum Acara Pidana.

1223