Home Hukum Mata Kuliah Hukum Adat Optimistis Eksis di Era Digital

Mata Kuliah Hukum Adat Optimistis Eksis di Era Digital

Jakarta, Gatra.com  Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia optimistis jurusan hukum adat tetap eksis dan menjadi pilihan favorit di Fakultas Hukum universitas dan sekolah tinggi ilmu hukum di Tanah Air pada era digital.

Dewan Pengurus APHA Indonesia masa bakti 2017–2020 telah melakukan berbagai upaya agar jurusan hukum adat tetap eksis dan menjadi pilihan favorit di Fakultas Hukum pada universitas dan sekolah tinggi ilmu hukum di Tanah Air, baik negeri dan swasta.

"Kita memberikan lompatan ke depan bahwa hukum adat juga bisa menempatkan diri di era digitalisasi, sehingga anak-anak muda yang akan mengambil jurusan cukup memberikan kebanggan kepada mereka," kata Dr. Laksanto Utomo, S.H., M. Hum, Ketua APHA Indonesia, saat menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepengurusannya secara daring pada kongres APHA Indonesia, Senin (3/8).

Laksanto menyampaikan, berbagai upaya dilakukan pihaknya untuk menjaga eksistensi jurusan hukum adat yang terus dipinggirkan. Bahkan, di beberapa perguruan tinggi , jurusan hukum adat sudah dihapus atau digabungkan dengan mata kuliah lainnya.

"Untuk itu, kami berharap kepada para pengajar, dosen pengampu untuk selalu memberikan tugas melalui digitalisasi yang sudah mulai kita rintis, termasuk dari jurnal-jurnal kita," katanya.

Selain itu, dalam masa 3 tahun kepengursan APHA Indonesia ini, juga melakukan audiensi dengan sejumlah pihak terkait, di antaranya Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat agar segera menjadi UU hingga menerbitkan jurnal ilmiah JIAL untuk anggota APHA Indonesia.

Selanjutnya, Rapat Dengar Pendapat (RDP) APHA Indonesia dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI mengenai RUU Masyarakat Adat. Kemudian, audiensi dengan DPD RI, Dewan Pertimbangan Presiden, Kantor Staf Presiden, serta Direktur Jenderal Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri.

"Komitmen APHA Indonesia untuk memperkuat posisi mata kuliah hukum adat di Fakultas Hukum dan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum terus bergelora," katanya.

Sebab, lanjut Laksanto, dalam realitasnya, di beberapa perguruan tinggi hukum, mata kuliah hukum adat telah "ter-delete" dari kurikulum atau termarjer dengan mata kuliah lain.

Menurutnya, APHA Indonesia selaku organisasi untuk memberi ruang bagi para pengajar hukum adat dalam mendiskusikan isu-isu seputar hukum adat, termasuk merancang dan melaksanakan penelitian dan pengabdian pada masyarakat yang berkaitan dengan hukum adat dan masyarakat adat.

"Hal ini penting dilakukan dalam upaya pengembangan dan peningkatan kualitas muatan hukum adat," ujarnya.

Menurutnya, pengembangan muatan materi hukum adat tersebut dilakukan melalui kegiatan, antara lain menyelenggarakan seminar dan diskusi hukum adat secara rutin sesuai agenda tahunan yang menyajikan pemikiran-pemikiran terkini dan hasil penelitian para pengajar hukum adat atau narasumber yang dipandang dapat berkonstribusi pada pengembangan hukum adat.

Selanjutnya, menyediakan media komunikasi melalui media elektronik (internet) dalam bentuk penyajian hasil-hasil pemikiran, hasil penelitian, dan tanya-jawab persoalan seputar hukum adat yang dapat diunduh oleh seluruh anggota.

"Menerbitkan jurnal Hukum Adat untuk mewadahi berbagai pemikiran dan hasil penelitian para pengajar hukum adat, dan menerbitkan buku untuk memublikasikan hasil-hasil kajian yang dipandang sangat bermanfaat bagi pengajar hukum adat, mahasiswa fakultas hukum, dan masyarakat umum," katanya.

Laksanto juga menyampaikan, kondisi keuangan APHA Indonesia saat ini yakni sejumlah Rp60 juta. Dan ini berasal dari hasil penjualan jas, iuran anggota, kegiatan seminar dan diskusi, serta sumbangan dari Dr. Roberth KR Hammar, S.H., M.H., M.M., Ketua STIH Bintuni Papua Barat. "Saat ini uang kas APHA Indonesia sebesar Rp60 juta," ujarnya.

Di akhir laporannya, Laksanto menyampaikan terima kasih kepada seluruh jajaran pengurus dan anggota yang telah memberikan kontribusi luar biasa dalam mendukung setiap kegiatan yang diselenggarakan APHA Indonesia.

"Atas nama pengurus APHA Indonesia Masa Bakti 2017–2020 kami memohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan," katanya.

513