Home Kesehatan Prevalensi Balita Stunting di NTT Capai 27,5 Persen

Prevalensi Balita Stunting di NTT Capai 27,5 Persen

Kupang, Gatra.com – Prevalensi balita stunting dalam tiga tahun di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terus mengalami penurunan. Meski demikian, angkanya masih tinggi sebesar 27,5 persen dengan kasus meninggal sebanyak 57 orang.

“Angkanya masih tinggi di bulan Agustus ini. Hingga Desember 2020 nanti pasti akan bertambah,” kata Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTT, dr Mese Ataupah kepada awak media, Kamis (20/8).

Sementara itu, data jumlah stunting pada 2018 sebesar 30,1 persen. Lalu di 2019 menurun menjadi 27,9 persen. Sementara hingga periode Agustus 2020 ini sebesar 27,5 persen.

Baca Juga: Cegah Stunting, Bumil Harus Hindari Asap Rokok

“Untuk itu diperlukan kerja sama antara pemerintah, pemangku kepentingan, dan masyarakat untuk penurunan yang lebih signifikan dan berkelanjutan. Targetnya akan menurunkan prevalensi balita stunting ini sampai di bawah 15 sampai 10 persen,” jelas dia.

Pihaknya berjanji terus berupaya untuk mengatasi permasalahan gizi dengan menekan jumlah balita stunting, wasting atau kekurangan gizi, dan underweight. Ini dilakukan melalui intervensi, Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk ibu hamil Kurang Energi Kronis (KEK) dan balita KEK di 22 kabupaten/kota.

Pemerintah NTT  juga telah menetapkan delapan aksi konvergensi dengan 25 indikator komposit. Di antaranya indikator gizi spesifik dan sensitif yang digunakan untuk analisa penyebab stunting hingga tingkat desa. Juga termasuk perawatan anak-anak gizi buruk, imunisasi, air bersih dan sanitasi, serta akses ke PAUD.

Baca Juga: Kasus Stunting di Blora, 90 Kasus 2 Meninggal

“Memang selama ini pemantauan balita gizi buruk dan stunting sedikit mengalami kendala akibat COVID-19, sehingga pelayanan di Posyandu tidak berjalan. Agustus ini merupakan bulan timbang, sehingga pelayanan di tingkat Posyandu diaktifkan kembali. Bagi balita yang tidak datang, petugas akan jemput dari rumah untuk dilayani,” paparnya.

Dia menegaskan, untuk mengatasi permasalahan gizi buruk dan stunting tidak bisa hanya mengandalkan Dinas Kesehatan. Instansi lainnya juga harus dilibatkan. Karena faktor lain memberi kontribusi sebesar 70 persen terhadap penanganan masalah kesehatan dimaksud, seperti pangan dan asupan gizi.

“Selain Dinas Kesehatan, instansi lain juga harus ikut terlibat tangani masalah stunting dan gizi buruk ini. Ibu hamil pun harus diperiksa dan diberi makanan tambahan. Kelor menjadi pilihan utama untuk menangangi masalah stunting ditambah PMT dari pusat yang sifatnya sangat insidentil,” terangnya.

Baca Juga: Banyak Nakes Kena Covid Hambat Pemkot Tegal Tekan Stunting

Menyangkut kasus demam berdarah dengue (DBD), dr. Mese menyebutkan pada awal 2020, terjadi wabah penyakit ini hampir di seluruh wilayah NTT. Saat itu, total penderita 5.483 jiwa dan kematian 55 jiwa. Ada tiga daerah yang tingkat kasusnya masuk kategori terparah dengan kasus korban jiwa yang tinggi sehingga ditetapkan sebagai kejadian luar biasa (KLB) yaitu Kabupaten Sikka, Lembata, dan Alor.

“Namun perlu disyukuri, karena melalui kerja sama penanganan antara pemerintah dan masyarakat, kasus DBD dapat diatasi. Sejak pertengahan tahun ini, status KLB di tiga kabupaten tersebut telah dicabut,” tandasnya.

2899