Home Hukum Proses Hukum Kekerasan Seksual ke Difabel Kerap Tak Tuntas

Proses Hukum Kekerasan Seksual ke Difabel Kerap Tak Tuntas

Yogyakarta, Gatra.com - Perempuan penyandang disabilitas mengalami kerentanan ganda sebagai korban kekerasan seksual. Banyak kasus tak dilaporkan atau tak tuntas di proses hukum. Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menjawab persoalan itu.

Hal ini mengamuka dalam diskusi daring ‘Kekerasan Seksual dan Penyandang Difabel’ gelaran Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Kamis (27/8) malam.

Direktur Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (Sapda) Yogyakarta, Nurul Saadah, menjelaskan perempuan disabilitas mendapat diskriminasi ganda bahkan tiga kali lipat.

“Perempuan dengan disabilitas mental atau intelektual yang miskin bahkan dianggap sebagai individu yang tidak bisa berdiri sendiri dan tak punya hak atas tubuh mereka, juga hak waris, kekayaan, properti, hingga hak bersuara mereka,” tuturnya.

Hasil peneiltian Sapda atas 60 disabilitas, lebih dari 70 persen mengalami kekerasan seksual, fisik, mental, hingga kekerasan ekonomi.

“Perempuan disabilitas sering dieksploitasi untuk pemuasan seksual. Mereka juga tidak dibayar saat bekerja atau dibayar tak sesuai haknya karena dianggap tak mampu menyuarakan haknya atau tak mampu mendapat kerja lain. Mereka juga mengalami perampasan properti oleh pasangan atau keluarga,” katanya.

Pemasungan pada orang dengan gangguan jiwa juga masih terjadi. Nahasnya, mereka dipasung bukan karena mengganggu orang. “Tapi karena mereka diperkosa dan hamil, keluarga tidak nyaman, terberatkan, hingga akhirnya dipasung,” ujarnya.

Kekerasan seksual pada perempuan disabilitas sering tidak terselesaikan oleh peragkat hukum. Peraturan pemerintah untuk mengakomodasi penyandang disabilitas secara layak di peradilan memang telah berlaku.

“Namun ini lebih pada sarana prasarana. Tapi terkait hukum acara belum ada, sehingga banyak kasus tak terselesaiakan,” kata Nurul.

Ia mencontohkan dari sekitar 30 kasus hukum dengan korban disabilitas yang ditangani Sapda, hanya 12 kasus yang masuk pengadilan.

”Yang sampai pada putusan hanya 5-6 kasus. Ini karena persoalan bukti dan tekanan. Pelaku kekerasan seksual pada peremp disabilitas kebanyakan anggota keluarga atau orang yang dikenal, seperti guru dan tetangga atau pemberi kerja,” tuturnya.

Dosen hukum FH UGM Nailul Amany memaparkan catatan Komnas Perempuan bahwa terjadi 87 kekerasan pada perempuan disabilitas pada 2019. “Sebanyak 79 persen adalah kekerasan seksual dan perempuan disabilitas intelektual paling rentan karena kasusnya mencapai 47 persen atau 41 kasus,” ujarnya.

Menurutnya, jumlah kasus tersebut bisa jadi lebih besar sebab banyak kasus tak dilaporkan. “Korban atau keluarga tidak tahu ia menjadi korban atau ia tahu tapi mengalami kemiskinan yang kompleks sehingga tak tahu hak-haknya,” ujar Nailul.

Selama ini kekerasan seksual lebih rentan dialami peremp ketimbang laki-laki. Untuk penyandang disabilitas, kasus tersebut juga lebih rentan. “Perempuan disabilitas membawa kerentanan berganda,” katanya.

“Keterbatasan korban dimanfaatkan pelaku. Pelaku punya harapan lolos dari hukum karena perbuatannya sulit dibuktikan. Ada pula kerentanan khas seperti nilai sosial yang menyatakan disabilitas yang baik itu yang patuh. Ini berkontribusi pada tingginya kasus kekerasan seksual pada disabilitas.

Indonesia telah meratifikasi konvensi tentang hak disabilitas sejak 2011 dan memiliki UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. “Tapi masalah lapangan kompleks, seperti memulihkan korban, terjadinya eksploitasi seksual, ini belum ada di UU itu,” ujarnya.

Nailul menjelaskan RUU PKS mengatur bahwa pelecehan seksual bukan delik aduan jika korbannya anak, disabilitas, atau anak dengan disabilitas. Keterangan korban juga punya kekuatan hukum yang sama dengan korban non-disabilitas.

Selain itu, ada pemberatan pidana penjara untuk pelaku kekerasan seksual dengan korban disabilitas atau anak. “Ini pasal penting untuk masuk UU PKS karena masalah ini yang dihadapi di lapangan,” ujarnya.

973