Home Gaya Hidup Beragam Nasihat Armada Sejuta Umat

Beragam Nasihat Armada Sejuta Umat

Bus sejuta umat pernah hadir di jalur lintas selatan Jawa Tengah. Armada dengan nama “ESTU” tersebut menghubungkan Cilacap – Kebumen. Awalnya merupakan kendaraan tempur.

“Esuk Sore Tetep Usaha” (pagi sampai sore tetap berusaha) merupakan kepanjangan dari nama ESTU tersebut. Armada ini mengangkut beragam penumpang. Mulai dari PNS, pegawai, karyawan, hingga petani.

Petani juga diperbolehkan membawa hasil buminya dengan bus ini. Karenanya, ada guyonan di daerah Cilacap dan sekitarnya, bahwa tidak mungkin terjadi perampokan atau pencopetan, karena penumpang ESTU selalu bersenjata.

Yoseph Budhi Wiharja, pemilik Armada Bus Estu mengatakan cikal bakal Bus ESTU dimulai pada zaman prakemerdekaan oleh kakeknya, Oey Kim Tjin. Kala itu, nama armadanya adalah EMTO. EMTO sendiri merupakan singkatan dalam Bahasa Jerman, yang ia sendiri tak mampu mengingatnya. “Itu adalah kendaraan tempur yang diubah menjadi kendaraan angkut sipil. Itu untuk mengirim barang sampai ke Bandung,” katanya.

Bahkan, pada masa kemerdekaan armada EMTO adalah salah satu kendaraan yang digunakan untuk memindah dokumen negara, saat ibu kota boyong dari Jakarta ke Yogyakarta pada masa agresi militer Belanda. Pemindahan ini penuh risiko. Pasalnya, Jakarta dan Jawa Barat, menjadi kekuasaan kolonial Belanda.

Sejarah mencatat taktik bumi hangus dilakukan oleh pejuang republik tatkala agresi militer Belanda. Salah satu yang paling dikenal adalah Bandung, yang lantas populer dengan ‘Bandung Lautan Api’. Namun, taktik bumi hangus itu ternyata tak hanya dilakukan oleh para pejuang dan warga Bandung.

Penduduk di Cilacap, Jawa Tengah juga membumihanguskan kota, terutama yang dekat dengan akses jalan utama Jawa sisi selatan. Mereka tak rela, bangunan digunakan sebagai markas oleh sekutu dan NICA, pada 1946.

Salah satu bangunan yang dibakar adalah bangunan bergaya Eropa, milik Oey Kim Tjin. Kim Tjin juga dikenal sebagai Masdjan Kartowihardjo, usai rezim Orde Baru mewajibkan seluruh warga keturunan menggunakan nama yang lebih ‘nasionalis’.

Masyarakat kala itu mengenal Kim Tjin sebagai pengusaha keturunan Tionghoa yang pro-Republik. Kim Tjin juga tak rela, rumah dan gudangnya digunakan oleh NICA dan sekutu yang mulai merangsek ke Jawa Tengah. Sebab, rumahnya sengat strategis digunakan sebagai pangkalan militer. Selain rumah tinggal, terdapat pula gudang berukuran besar dan garasi besar armada angkutan. “Takutnya nanti digunakan untuk markas Belanda. Maka dibakar. Sengaja dibakar,” terang Yoseph Budhi Wiharja.

Sayangnya, sejumlah benda berharga luput dari pengamatan. Kendaraan yang sebenarnya bisa digunakan sebagai armada tempur para pejuang turut terbakar. Pasalnya, saat itu masih sangat sedikit warga dan pejuang yang bisa mengemudikan kendaraan atau sepeda motor.

Pada masa kemerdekaan, bangunan ini juga digunakan sebagai markas tentara dan pejuang. Saat itu, bangunan sudah dikelola oleh ayah Budhi, yakni Untung Kancono alias Oey Tjang Tjin. Sama seperti kakeknya, ayah Budhi juga berhati pejuang. “Pernah ini digunakan sebagai markas tentara, Koramil, sementara,” ucapnya.

Budhi mengungkapkan, sebagai pengusaha yang propejuang, kakeknya kerap mengirimkan logistik ke para gerilyawan. Ucapan Budhi ini terkonfirmasi oleh salah satu saksi mata perjuangan rakyat Majenang, KH Amin Mustholih, pengasuh Ponpes Baabussalam, Ciawitali, Cimanggu.

Karena jasanya tersebut, kakeknya mendapat dua bintang jasa, yakni dari presiden dan Legiun Veteran RI. Bintang jasa itu menjadi bukti bahwa meski tidak langsung terlibat dalam pertempuran, bantuan yang diberikan pada masa merebut dan mempertahankan kemerdekaan sangat berarti.

Menurut dia, nyaris semua masyarakat di jalur Bus ESTU paham kapan waktu Bus ESTU melintas. Pada zaman dulu, bahkan banyak warga yang membatalkan perjalanan jika Bus ESTU tak beroperasi atau kena masalah di jalan. “Maklum, waktu itu kan jalannya tidak sebagus sekarang. Mereka membatalkan perjalanan,” tandasnya. Muh Slamet

 

67