Home Hukum Halius: Pernyataan KKRI Ganggu Penanganan Perkara

Halius: Pernyataan KKRI Ganggu Penanganan Perkara

Jakarta, Gatra.com - Mantan Ketua Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (KKRI), Halius Hosen, menanggapi pernyataan pihak KKRI yang meminta agar kasus dugaan korupsi yakni gratifikasi oknum Jaksa Pinangki Sirna Malasri ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Menurut Halius, pandangan tersebut mengganggu penyidikan karena akan menimbulkan opini publik dan membangun ketidakpercayaan terhadap proses hukum yang tengah dilakukan Kejaksaan.

"Pernyataan-pernyataan yang disampaikan ketua Komjak [KKRI] itu saya lihat justru membangun suasana penyidikan Kejaksaan menjadi terganggu. Karena akan ada opini publik, Komjak kok begini. Nah, ini harus didudukkan secara proporsional," kata Halius pada Minggu (6/9).

Terlebih, lanjut Halius, sesuai Pasal 2 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 Tahun 2011 tentang KKRI, sebagai lembaga nonstruktural, Komjak tugasnya melakukan pengawasan, pemantauan, dan penilaian terhadap kinerja dan prilaku Jaksa dalam melakukan tugas dan wewenangnya maupun di luar tugas kedinasan.

Namun demikian, KKRI sifatnya pasif, yakni menindaklanjuti pengaduan atau laporan dari masyarakat tentang dugaan pelanggran kinerja dan prilaku jaksa. Setelah menindaklanjuti, Komjak hanya memberikan rekomendasi kepada Jaksa Agung agar menindaklanjutinya.

Itu dilakukan apabila pemeriksaan oleh aparat pengawas internal Kejaksaan tidak menunjukkan kesungguhan atau belum menunjukkan hasil nyata dalam waktu 3 bulan sejak laporan masyarakat atau laporan Komjak diserahkan kepada Kejaksaan.

"Nah, sekarang Komjak itu mengawasi bilamana ada penyimpangan-penyimpangan dalam penanganan Pinangki itu. Komjak memberikan rekomendasi kepada jaksa agung agar melakukan tindakan terhadap anak buahnya yang tidak melaksanakan ketentuan UU dalam melakukan penyidikan," ujarnya.

Karena itu, Halius mengaku heran dengan pernyataan pihak Komjak yang mendorong agar perkara oknum Jaksa Pinangki itu ditangani atau dilimpahkan ke KPK. Ia berpendapat demikian karena ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi suatu perkara bisa diambil alih atau dilimpahkan ke lembaga antirasuah.

Adapun saat ini, lanjut Halius, syarat tersebut belum terpenuhi karena belum ada kendala berarti yang menghambat penyidikan perkara dugaan korupsi dari oknum Jaksa Pinangki terkait pengurusan fatwa ke Mahkamah Agung (MA) agar terpidana perkara cessie Bank Bali, Djoko Soegiarto Tjandra (Djoker), itu tidak bisa dieksekusi.

"Nah, saya menjadi heran juga dengan dorongan yang begitu kencang dari Komisi Kejaksaan agar KPK mengambil alih perkara itu. Saya jadi herannya itu, ini dasarnya apa?" katanya.

Persyaratan pengambilalihan perkara oleh KPK dari penegak hukum lain, termasuk Kejaksaan dan Polri, ada persyaratan tertentu, di antaranya adanya hambatan maupun kendala teknis hukum projustitia sehingga penyidikan tersebut tidak berjalan.

"Sejauh ini, saya belum melihat penyidik Polri maupun Kejaksaan tidak mengalami kendala. Bahkan sebaliknya, terlihat progress dengan munculnya nama-nama tersangka baru yang belum terdengar sebelumnya, serta penerapan UU TPPU untuk tersangka Pinangki merupakan bentuk ketegasan Kejaksaan Agung," katanya.

Dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan 3 orang tersangka, partama; oknum jaksa Pinangki Sirna Malasari karena diduga menerima hadiah atau janji (gratifikasi) untuk memuluskan pengajuan permohonan peninjauan kembali (PK) terpidana Djoko S. Tjandra dalam perkara korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali.

Pinangki diduga menerima uang suap sejumlah US$500.000 atau setara Rp7,4 miliar. Yang bersangkutan disangka melanggar Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Setelah itu, Kejagung menetapkan Djoko Soegiarto Tjandra (Djoker) karena diduga menyuap Pinangki terkait pengurusan fatwa ke Mahkamah Agung (MA). Djoker pun disangka melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a dan Pasal 5 Ayat (1) huruf b dan Pasal 13 UU Pemberantasan Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001.

Ketiga, yakni tersangka Andi Irfan Jaya dari pihak swasta berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor : Print-53/F.2/Fd.2/09/2020 tanggal 2 September 2020 dan Surat Perintah Penetapan Tersangka Nomor : TAP-58/F.2/Fd.2/09/2020 tanggal 2 September 2020.

Kejagung menyangka Andi Irfan Jaya melanggar Pasal 5 Ayat (2) jo Ayat (1) huruf b atau Pasal 6 Ayat (1) huruf a juncto Pasal 15 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

275