Home Hukum Praperadilan Syamsul Arifin, Polisi Dianggap Cacat Prosedur

Praperadilan Syamsul Arifin, Polisi Dianggap Cacat Prosedur

Bandar Lampung, Gatra.com - Penangkapan mantan Ketua Asosiasi Kontraktor Listrik Indonesia (AKLI) Lampung, Syamsul Arifin oleh Ditreskrimsus Polda Lampung tanggal 22 September 2020 berbuntut praperadilan. Kuasa hukum Syamsul Arifin, David Sihombing berpandangan penangkapan terhadap kliennya oleh polisi berlebihan dan ditunggangi kepentingan tertentu.

Sebelumnya polisi menjerat Syamsul dengan pasal 27 ayat 3 juncto pasal 45 Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan atau pasal 335 KUHP atau pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik. Penyidikan dimulai karena adanya laporan dari Pengurus Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Lampung, Napoli Situmorang ke Ditreskrimsus Polda Lampung.

David mengatakan dalam gugatan praperadilan yang disusun pihaknya disampaikan beberapa cacat prosedur yang dilakukan polisi. “Dari laporan sampai keluar Surat Perintah Penyidikan itu hanya dua hari. Uniknya lagi, Surat Panggilan Sp.Pgl/190/III/SUBDIT-II/2013/Ditreskrimsus tertanggal 25 Maret 2013 ini meminta klien kami hadir tanggal 28 Maret 2013. Tapi tanggal 27 Maret 2013, sudah terbit Panggilan kedua nomor Sp.Pgl/190a/III/SUBDIT-II/2013/Ditreskrimsus,” ujar David Sihombing dalam keterangan yang diterima Gatra.com, Jumat (2/10).

Menurut David, proses itu terlalu cepat untuk sebuah delik aduan yang termasuk pada tindak pidana khusus. Polisi menurutnya harus memiliki bukti permulaan yang cukup sebelum menaikkan laporan ke tingkat penyidikan. Proses naik ke tingkat penyidikan, terang David, dilakukan dengan kajian yang matang.

“Penambahan pasal yang akhirnya mencampurkan pasal pidana khusus dan pidana umum juga dirasa janggal. Meski pelapor hanya melaporkan pelanggaran UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi & Transaksi Elektronik, namun kemudian ditambahkan dengan pasal-pasal dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,” ungkapnya.

Selain itu alat bukti yang disampaikan tidak cukup kuat dan atau memenuhi kriteria tindak pidana yang dimaksud. “Saksi Pelapor tidak memberikan kesaksian tentang delik yang digambarkan pasal-pasal tersebut. Itu bagaimana pembuktiannya? Artinya mereka tidak ada alat bukti untuk pasal-pasal tambahan tersebut, namun lalu sudah memberi status tersangka,” imbuh David lagi.

Penetapan P21 yang diberikan Kejaksaan Tinggi Bandar Lampung melalui surat No. B-2271/N.8.4/Euh.1/6/2013 pada Tanggal 21 Juni 2013 semakin memperkuat tindakan janggal yang dilakukan polisi. Dirinya menyanggah pernyataan bahwa Syamsul Arifin kabur dari proses pemeriksaan setelah gagal dijemput paksa pada Tanggal 18 Juli 2013.

“Penyidikan sudah selesai, tapi masih mengeluarkan Perintah Penggeledahan dalam rangka penyidikan, tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri pula. Prosedur sudah cacat sejak awal, tidak bisa kita katakan bahwa telah dilakukan pemanggilan secara patut. Lalu apa pretensinya menerbitkan DPO?,” ujar David.

Saat ditanyakan tentang pernyataan polisi bahwa Syamsul sering mondar-mandir Jakarta – Bandar Lampung, ia membenarkan karena kliennya memang memiliki keluarga dan kantor di Jakarta. “Jika dikatakan kabur ya tidak benar, mayoritas waktunya tetap tinggal di Jl. Pattimura Bandar Lampung, 950 meter jauhnya dari Polda Lampung,” ujar David.

Diketahui proses praperadilan telah diterima Pengadilan Negeri Tanjungkarang Tanggal 29 September 2020 lalu dengan Nomor 09/Pid.PRA/2020/PN.Tjk dan dijadwalkan untuk sidang perdana Selasa depan, Tanggal 6 Oktober 2020.

830