Home Hukum PPAT Harus Terapkan Prinsip Kehatihatian

PPAT Harus Terapkan Prinsip Kehatihatian

Jakarta, Gatra.com - Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) harus sesuai prosedur hati-hati dalam menjalankan tugasnya karena kerap dilibatkan dalam permasalahan yang timbul antara para pihak yang melakukan proses peralihan maupun pembebanan hak atas tanah.

Pengacara senior dari Ail Amir & Law Firm Associates, Ari Yusuf Amir, dalam diskusi virtual yang digelar PP Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PP-IPPAT), Jumat (8/10), menyampaikan, PPAT harus hati-hati karena perkara semisal itu kerap sampai ke ranah pidana.

Agar tidak tertarik dalam persoalan tersebut, lanjut Ari, beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia telah membuat ketentuan yang substansinya merupakan prinsip kehati-hatian PPAT dalam menjalankan tugasnya.

Aturan tersebut di antaranya Kode Etik PPAT Pasal 3 huruf f yang mengatur bahwa PPAT dalam menjalankan kewajibannnya wajib bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab, mandiri, jujur, dan tidak berpihak.

Menurut Ari, jika PPAT lalai menerapkan prinsip kehati-hatian, maka berpotensi terkena ketentuan Pasal 55 Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perkaban).

Ia mengungkapkan, ada beberapa PPATK yang terpaksa harus berurusan dengan hukum pidana karena lalai tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan tugas jabatannya.

Labih lanjut Ari mengungkapkan, ada sejumlah pasal di KUHP yang rentan dikenakan kepada PPAT, di antaranya, sumpah palsu sesuai Pasal 242 KUHP, Pemalsuan Surat sebagaimana Pasal 263 dan Pasal 264 KUHP, memasukkan keterangan palsu dalam akta otentik yang diatur Pasal 266 KUHP, Penipuan (Bedrog) Pasal 378 KUHP dan Tindak Pidana Korupsi Pasal 3 UU Tipikor.

"Contoh kasus, ada Notaris atau PPAT di Jawa Timur yang diduga memberikan keterangan palsu di atas sumpah, dalam suatu persidangan pidana tentang pemalsuan akta jual-beli tanah melalui PPAT," ungkapnya.

Saat memberikan keterangan di persidangan, lanjut Ari, PPAT membantah telah membuat akta palsu dan mengatakan bahwa kedua pihak dalam akta tersebut telah menyatakan lunas. Namun, keterangan PPAT ini dianggap tidak sesuai dengan fakta, sebab pemilik tanah mengaku tidak pernah menjual tanahnya.

"Akhirnya, dalam persidangan Ketua majelis hakim, memerintahkan jaksa untuk menyidik si PPAT karena dinilai memberikan keterangan palsu," ujarnya.

Kemudian, jika ada PPAT harus menghadapi proses penyidikan perkara pidana, lanjut Ari, ada sejumlah langkah yang harus dilakukan. Pertama, memastikan penyidik kepolisian telah memperoleh persetujuan dari Majelis Kehormatan Notaris dalam meminta keterangan dan atau Minuta Akta. Kedua, sesuai Pasal 114 KUHAP, PPAT dapat didampingi penasihat hukum.

"Dalam hal ini PPAT dapat meminta dilakukan upaya, seperti menyusun Surat Permohonan Perlindungan Hukum yang ditujukan kepada Propam Polri,” ujarnya.

Langkah ketiga, PPAT harus bersikap kooperatif selama proses penyidikan dengan menyiapkan segala data dan atau dokumen yang diperlukan dan memberikan keterangan sesuai dengan kapasitasnya.

“Sesuai Pasal 112 KUHAP yang pada intinya mewajibkan setiap orang yang dipanggil oleh penyidik secara sah guna kepentingan pemeriksaan wajib memenuhi panggilan dimaksud," kata Ari.

Keempat, terhadap hal-hal tertentu bersifat rahasia yang telah dipercayakan kepada PPAT, maka PPAT karena jabatannya dapat meminta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, ini diatur dalam Pasal 170 KUHAP.

Langkah berikutnya, atau kelima, Penyitaan terhadap surat yang bersifat rahasia dari PPAT, harus berdasarkan persetujuan PPAT atau atas izin khusus ketua pengadilan negeri setempat. "Kecuali rahasia negara atau ditentukan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan," ujarnya.

Menurut Ari, sepanjang PPAT bekerja berdasarkan kewenangan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka PPAT akan dilindungi oleh hukum. Hal ini sejalan dengan Yurisprudensi Nomor: 702K/Sip/1973.

Adapun inti dari ketentuan di atas, menyatakan pada intinya setiap Notaris atau PPAT dalam menjalankan jabatannya telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kode etik Notaris atau PPAT, asas hukum, maka tidaklah dapat dituntut secara hukum, baik perdata, administrasi, dan pidana.

Jadi, ujar Ari, pertanggungjawaban pidana PPAT sangat bergantung pada kesengajaannya dalam melanggar ketentuan PP Jabatan PPAT. "Dan pemidanaan pada dasarnya bukan pada jabatan atau kedudukannya, tapi pada perbuatannya."

Selain itu, lanjut Ari, PPAT juga harus waspada pada Pasal 52 KUHP yang mengatur pemberatan pemidanaan jika terbukti bersalah. Isi pasal itu menyebut, bilamana seorang pejabat, karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga.

Kepada para PPAT, Ari berpesan agar selalu menerapkan prinsip kehati-hatian sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Meneliti secara seksama data, dokumen, dan surat yang digunakan sebagai persyaratan atau data penerbitan produk notaris, walaupun notaris tidak mempunyai tugas untuk memastikan keaslian dokumen.

Berikutnya, memastikan para pihak hadir berhadapan dan sebelum akta ditandatangani notaris membacakan isi akta kepada para pihak disertai penjelasan. Melakukan pendokumentasian seperti foto dan sampel sidik jari untuk memperkuat.

Kemudian, tertib dalam pengelolaan dokumen, jangan sampai produk notaris yang belum jadi tetapi sudah di register dan ditandatangani bahkan sudah beredar kepada para pihak. "Terakhir, PPAT juga harus mengenal Klien," ujarnya.

Sejumlah peserta diskusi ini antusias menyampaikan berbagai pertanyaan usai Ari menyampaikan paparan. Pertanyaan disampaikan setelah moderator membuka sesi atau forum tanya jawab untuk mendapat penjelasan lebih lanjut.

1714