Home Info Sawit Mengulik Tudingan Tak Sedap Soal Biodiesel

Mengulik Tudingan Tak Sedap Soal Biodiesel

Jakarta, Gatra.com - Banyak orang mengacungkan jempol setelah menengok usaha pemerintah membangun Ketahanan Energi Nasional dengan memanfaatkan potensi kelapa sawit.

Tapi tak banyak yang tahu kalau yang menopang hadirnya Ketahanan Energi Nasional itu justru para pelaku kelapa sawit itu sendiri.

Tengok sajalah di lapangan. Petani kelapa sawit menjual hasil panennya berupa Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit ke pabrik.

Di pabrik, TBS itu kemudian diolah menjadi Crude Palm Oil (CPO) dan dialirkan ke tangki pengumpul. Di sana bercampurlah CPO petani dan produk yang sama milik perusahaan kelapa sawit.

Tak semua CPO itu dikirim ke luar negeri, sebab sebagian musti diolah di dalam negeri menjadi biodiesel dan sederet turunan lain.

CPO yang dikirim ke luar negeri tadi, ternyata musti membayar USD50 perton kepada pemerintah. Duit ini disebut dana pungutan ekspor.

Kalau 30 juta ton saja CPO yang diekspor dalam setahun, berarti sudah Rp21 triliun duit yang didapat pemerintah dari pungutan itu. Ini belum termasuk pungutan dari sekitar 17 turunan sawit lainnya yang juga diekspor.

Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyebut, tahun ini ada sekitar Rp45,52 tirliun dana pungutan yang didapat dari hasil sawit yang kemudian dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Hanya saja kebanyakan duit itu dipakai untuk membiayai pembuatan Fatty Acid Methyl Ester (FAME) untuk bauran 80 persen solar. Pemerintah menyebutnya B20.

Dalam setahun, ada 6,4 juta kiloliter FAME yang dibutuhkan untuk bauran itu. Perkiraan GAPKI, jumlah ini malah membengkak menjadi sekitar 8,5 juta kiloliter.

Untuk menghasilkan biodiesel tadi, Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) menyebut, pabrik biodiesel dibayar USD85 perton.

Lalu lantaran Harga Indeks Pasar (HIP) biodiesel (Rp9200) jauh lebih tinggi ketimbang HIP Solar (Rp4.385), BPDPKS juga musti membayar selisih HIP itu.

"Kalau misalnya selisih HIP Rp5000, BPDPKS membayar Rp4000, sisanya dibayar Pertamina," cerita Ketua Harian APROBI, Paulus Tjakrawan kepada Gatra.com, tiga hari lalu.

Sebahagian orang beranggapan, apa yang dibayarkan oleh BPDPKS dan Pertamina tadi adalah sebentuk subsidi untuk perusahaan pembuat biodiesel itu.

Omongan inilah yang membikin Paulus tak enak hati. Dia tak sepakat dengan kata-kata subsidi itu. Sebab menurut dia, duit yang dibayarkan oleh BPDPKS itu adalah selisih harga biodiesel dan solar.

Memang kata Paulus, yang membayar adalah BPDPKS, tapi duit BPDPKS itu bersumber dari duit sawit yang dipungut, bukan dari pajak. "Leavy itu bukan pajak," tegasnya.

Yang membikin Paulus makin tak enak hati, ada pula yang menuduh kalau pemerintah telah membiayai konglomerat, malah dibilang kartel.

"Usaha ini terbuka bagi siapa saja yang bisa membuat biodiesel. Kalau ada yang lain yang bisa membikin, silahkan. Kita terbuka kok. Beda kalau usaha ini tertutup, bolehlah menuduh macam-macam," kata pembina kwartir nasional Pramuka ini.

Puncak tudingan itu adalah petani dibilang tidak menikmati kehadiran biodiesel itu. "Justru saat biodiesel ada, harga di petani naik. Apa ini tidak menikmati namanya?" Paulus bertanya.

Kalau kemudian petani tidak menikmati kenaikan harga lantaran permainan tengkulak atau oleh kondisi jalan yang rusak kata Paulus, itu enggak ada kaitannya dengan pabrik biodiesel, tapi justru persoalan di daerah.

Kalau ingin memastikan petani menikmati harga yang bagus kata Paulus, tentu kebutuhan petani akan jalan dan harga, musti difasilitasi pemerintah daerah.

"Lalu pabrik musti membeli sawit petani dengan harga yang wajar. Kalau itu enggak dapat juga, ada baiknya petani didorong membikin pabrik CPO sendiri," Paulus bersaran.

Sebetulnya kata Paulus, dimana-mana tak ada energi baru terbarukan lebih murah dari fosil. Itulah makanya pemerintah setempat memberikan insentif kepada pembuat biodiesel.

"Di Amerika, perusahaan yang membikin biodiesel, dapat subsidi dari pemerintahnya. Di kita memang ada insentif, tapi duitnya dari pengekspor itu sendiri. Harusnya duit insentif itu langsung dari pemerintah," katanya

Satu waktu kata Paulus, dia ditanya di DPR terkait subsidi. Kenapa perlu subsidi? "Saya menjawab ya harus. Kenapa orang yang beli minyak disubsidi dan kami enggak? Dari dulu harga minyak disubsidi kita enggak mempersoalkan. Kita enggak pernah bilang itu kartel. Sebab perlakuan itu dibilang sebagai subisidi untuk rakyat," cerita Paulus.

Sekarang giliran perusahaan dalam negeri bikin biodiesel, malah dibilang kartel. "Aneh dan enggak fair. Kita dibilang disubsidi sementara minyak yang kita hasilkan untuk rakyat," katanya

Lalu yang impor minyak kenapa tidak dibilang disubsidi sementara duitnya dibayarkan untuk perusahaan luar.

"Mestinya perlakuan itu samalah, jangan kayak begini. Kapan industri dalam negeri akan maju kalau begini ceritanya. Ini sama saja kita lebih senang impor ketimbang memproduksi sendiri," Paulus terdengar kesal.

Paulus jadi teringat kalau program biodiesel sudah dimulai di Indonesia sejak tahun 2006. Waktu itu harga sawit masih lebih rendah dari fosil.

Tapi perlahan harga sawit mulai naik lantaran sudah dipakai untuk biodiesel meski masih hanya B5 dan B2,5. Itupun yang memakai masih wilayah terbatas di pulau jawa seperti Jakarta, Cikapek lalu kemudian meluas ke Serang.

Dua tahun kemudian, dibuat mandatori biodiesel. Pemerintah memberi subsidi sampai B10 hingga tahun 2013. Setahun kemudian subsidi terhenti lantaran devisit perdagangan di 2012.

Yang jelas kata Paulus, hingga 2014, Pertamina membayar FAME itu sesuai Harga Patokan Ekspor (HPE) produsen. Sayang Pertamina merugi, pembayaran semacam itupun dihentikan.

Subsidi terhenti, pemerintah bersepakat dengan para eksportir sawit untuk memberikan dana kepada produsen biodiesel itu. "Muncullah pungutan ekspor," katanya.

Sekarang biodiesel direcoki. "Kalau biodiesel mau distop, kami siap kok. Tapi ingat, siapa yang akan jadi korban lebih dulu, pasti petani. Di situ ada kabar biodiesel distop, harga sawit akan anjlok," ujar Paulus.

"Jadi, jangan asal ngomong. Sebab kalau harga sawit tidak terjaga, yang jadi korban pertama adalah petani. Kalau insentif dibilang terlalu besar, silahkan. Bagi perusahaan, jika duit tak cukup untuk produksi, ya stop," tegasnya.

Tapi menurut Paulus, janganlah sampai seperti itu. Yang perlu dipikirkan sekarang justru, gimana biodiesel ini supaya sustain, sebaba ini berdampak pada ketahanan energi dalam negeri.

Selain itu sangat berdampak pula pada tenaga kerja. Kalau untuk memproduksi 2500 barrel fosil perhari hanya butuh sekitar 250 orang, di biodiesel justru 10 ribu orang.

"Biodisel kita mengurangi emisi luar biasa besar. Devisit perdagangan bisa kita antisipasi. Memang, dibanding impor, impor mungkin lebih murah, tapi yang menikmati duit impor itu orang luar dan broker," katanya.


 

463