Home Politik APHA: 2021, DPR-Pemerintah Harus Bahas RUU Masyarakat Adat

APHA: 2021, DPR-Pemerintah Harus Bahas RUU Masyarakat Adat

Jakarta, Gatra.com – Asosiasi Pengajar Hukum Adat Indonesia (APHA) akan terus mendorong DPR dan Pemrintah serius dalam membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat, agar segera dapat disetujui dan disahkan di tahun 2021.

Ketua Umum APHA Indonesia, Laksanto Utomo, di Jakarta, Senin (21/12), menyampaikan, ini menjadi catatan pihaknya di tahun 2020 karena UU Masyarakat Adat ini belum belum juga dibahas, apalagi disahkan menjadi undan-undang.

"Bahwa progres penyelesaian RUU Masyarakat Adat oleh DPR dan Pemerintah hingga akhir 2020 belum nampak signifikan," ujarnya.

Padahal, lanjut Laksanto, keberadaan UU Masyarakat Adat ini sangat penting dan mendasar agar masyarakat adat memperoleh perlindungan hukum dan terpenuhi hak-haknya sebagai warga negara.

Selain itu, pada tahun besok, APHA Indonesia juga meminta Pemerintah dan DPR perlu benar-benar memosisikan keberadaan hukum adat termasuk kearifan lokal sebagai salah satu sumber pokok pembangunan hukum nasional. Dengan memosisikan hukum adat dan kearifan lokal sebagai sumber pokok pembangunan hukum nasional, maka hukum adat dan kearifan lokal mewarnai setiap produk peraturan perundang-undangan.

"Ini penting disadari agar pembentukan peraturan perundang-undangan oleh DPR dan Pemerintah tidak semata-mata didominasi pemikiran hukum positif (hukum barat)," ujarnya.

APHA menyatakan, tidak memperhatikan hukum adat dan kearifan lokal dapat dimaknai sebagai pengabaian terhadap jiwa budaya hukum bangsa Indonesia. Padahal, masyarakat adat dan hukum adat itu telah hidup dan berkembang sebelum Indonesia ada.

Idealnya, begitu Indonesia ada, hukum adat dan kearifan lokal dijunjung tinggi sebagai hukum asli Indonesia karena sesuai dan mencerminkan jiwa bangsa. Tapi dengan berlakunya Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 (sebelum Perubahan) yang berbunyi “Segala Badan Negara dan Peraturan jang ada masih langsung berlaku, selama belum dadakan jang baru menurut Undang Undang Dasar ini” telah membuat bangsa ini terlena.

Kondisi tersebut, kata Laksanto,? pada akhirnya memosisikan hukum barat, termasuk hukum peninggalan Belanda itu lebih bernilai daripada hukum adat yang jelas-jelas merupakan hukum asli masyarakat Indonesia.

"Ironinya, hingga hari ini KUHP dan KUH Perdata peninggalan Belanda tetap digunakan, padahal di negara asalnya sendiri sudah mengalami perubahan," ujarnya.

Sedangkan untuk rencana APHA Indonesia tahun 2021, setidaknya ada 4 poin. Pertama, melakukan registrasi ulang dan rekrutmen anggota sesuai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) APHA Indonesia. Ini dilakukan mengingat jumlah anggota terus meningkat dan menertibkan keanggotaan APHA Indonesia.

Kedua, lanjut Laksanto, penerapan Rancangan Pembelajaran Smester (RPS) Hukum Adat di PTN dan PTS. Sebagai tindak-lanjut Penetapan RPS Hukum Adat, maka pada tahun 2021 APHA Indonesia akan mengirimkan surat audiensi kepada Menristek-Dikti untuk menyerahkan Surat Keputusan APHA Indonesia tentang RPS Hukum Adat.

"Ini urgen dilakukan agar Hukum Adat sebagai mata kuliah Kurikulum Nasional (Kurnas) dalam pengajarannya ada kesamaan materi yang diberikan kepada mahasiswa S1 Hukum dan S2 Kenotariatan, baik di PTN maupun di PTS," ujarnya.

Ketiga, operasional LKBH APHA Indonesia. Sebagai tindak lanjut pendirian dan launching LKBH APHA Indonesia pada Oktober 2020, maka pada tahun 2021 diharapkan Ketua dan Tim LKBH APHA mulai lebih aktif melakukan kegiatan operasional dalam memberi advokasi dan bantuan hukum, khususnya kepada masyarakat adat dan masyarakat umum yang membutuhkan.

Terakhir atau keempat, pemberdayaan masyarakat adat. Ini adalah salah satu program baru yang telah diprogramkan pada tahun 2020. Diharapkan Dewan Pembina beserta Ketua dan Tim Pemberdayaan Masyarakat Adat dapat mulai diimplementasikan pada tahun 2021, dimulai di wilayah masyarakat adat yang terdekat dan terjangkau.

168