Home Ekonomi Harga Kedelai Impor Melejit, Perajin Tahu Menjerit

Harga Kedelai Impor Melejit, Perajin Tahu Menjerit

Sukoharjo, Gatra.com - Komunitas Usaha Bersama (KUB) Tahu di Kecamatan Kartasura, Sukoharjo sepakat melakukan mogok produksi, Senin (4/01). Komunitas yang berjumlah 70 pengrajin ini melakukan aksi di halaman Kantor DPRD Sukoharjo. 
 
Dari pantauan di lokasi, aksi ini diikuti sekitar 15 orang. Beberapa peserta membentangkan spanduk, salah satunya bertuliskan "Putih Tahuku Tak Seputih Nasibku". Selang beberapa menit, perwakilan peserta melakukan mediasi di ruang rapat Kantor DPRD Sukoharjo. Dalam mediasi tersebut ditemui oleh Wakil Ketua DPRD Eko Sapto Purnomo.
 
Usai mediasi, ketua paguyuban Puryono mengatakan, aksi ini dilakukan sebagai wujud protes mahalnya harga kedelai impor dari Amerika Serikat yang terjadi. Sementara mogok kerja ini hanya akan berlangsung satu hari ini.
 
"Saat ini harga kedelai mencapai Rp 9.350 per kilo, padahal normalnya hanya Rp 6.500 - Rp 7.000 saja. Selain kedelai, harga minyak goreng kelapa sawit saat ini tembus Rp 13.500, dari harga normalnya Rp 9.000," jelasnya. 
 
Ia mengatakan, kenaikan ini mulai terjadi saat awal pandemi Covid-19 pada Maret 2020 lalu. Namun terdapat kenaikan secara bertahap dan mulai terasa pada akhir tahun 2020.
 
"Pertengahan Maret 2020 kemarin, kedelai naik menjadi Rp 7.900. Mendekati hari raya idul fitri kembali normal. Lalu pada bula November hingga sekarang terus naik," ucapnya. 
 
Kenaikan bahan dasar pembuatan tahu dan tempe itu membuat pengrajin kalang kabut. Berbagai cara dilakukan agar pengrajin tidak mengalami kerugian yang besar.  
 
"Kalau harganya naik di Rp 8 ribu, kami masih bisa mensiasati dengan mengurangi takaran atau ukuran, tanpa menaikan harga. Namun ketika harganya sudah tembus Rp 9.000 kami kebingungan, dan kesulitan menjalankan usaha kami," terangnya. 
 
Eko Sapto Purnomo mengaku, persoalan utama yang dihadapi perajin yang notabene pelaku UMKM adalah naiknya harga bahan baku kedelai yang mencapai 150 persen. Hal inilah yang membuat para perajin menangis.
 
Menurutnya, perlu dirunut apakah kenaikan harga tersebut merupakan siklus atau memang ada faktor lain yang menyebabkannya. Setelah itu dicari solusinya, bentuk campur tangan pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Perdagangan Koperasi dan UKM maupun melalui Bulog seperti apa. 
 
"Kemudian disampaikan secara hierarki sampai dengan pengambil kebijakan di tingkat pusat, karena memang kedelai ini adalah komoditas yang sangat bergantung pada harga dunia," tandasnya.
79