Home Hukum 32 Tahun Peristiwa Talangsari, LPSK: Masih Banyak Persoalan

32 Tahun Peristiwa Talangsari, LPSK: Masih Banyak Persoalan

Jakarta, Gatra.com – Peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat Talang Sari, Lampung, hari ini tepat berusia 32 tahun. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyebut perkaranya masih menyisakan berbagai persoalan meski Komnas HAM telah menyerahkan hasil penyelidikannya kepada Kejaksaan Agung (Kejagung).

"Hasil penyelidikannya telah diserahkan kepada Jaksa Agung pada 2008 lalu, peristiwa ini sampai sekarang masih menyisakan persoalan," demikian keterangan pers LPSK, Minggu (7/2).

Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi Pasaribu, menyampaikan, di tengah proses penuntasan kasus yang masih berjalan, LPSK hadir membantu proses pemulihan hak para korban.

Edwin mengatakan, pemulihan merupakan tantangan dalam perlindungan korban Pelanggaran HAM Berat (PHB), termasuk insiden Talangsari pada 7 Februari 32 tahun silam. Pemulihan bertujuan mengembalikan kondisi fisik, psikologis, sosial, dan spiritual korban agar dapat menjalankan fungsi sosial secara wajar.

"Diperlukan juga usaha untuk memberikan kompensasi kepada para korban agar mereka dapat menikmati hak yang sebelumnya hilang," ujar Edwin.

Sesuai ketentuan undang-undang, jelas Edwin, LPSK memiliki sejumlah bentuk perlindungan, di antaranya pemberian bantuan medis, rehabilitasi psikosial dan psikologis kepada korban PHB. Salah satunya kepada korban peristiwa Talangsari.

Edwin menuturkan, sejak akhir 2019, Tim Terpadu Penyelesaian Pelanggaran HAM yang Berat bentukan Menko Polhukam melakukan usaha pemulihan lewat program rehabilitasi psikososial.

Rehabilitasi psikososial merupakan bentuk pemulihan kondisi fisik, psikologis, sosial, dan spiritual sehingga korban mampu menjalankan fungsi sosial secara wajar, melalui upaya peningkatan kualitas hidup, berupa pemenuhan sandang, pangan, papan, dan bantuan mendapatkan pekerjaan, atau bantuan kelangsungan pendidikan.

Menurut Edwin, tim terpadu ini melibatkan kementerian, lembaga dan Pemerintah Lampung, termasuk LPSK. Bantuan yang disalurkan kepada korban Talangsari, antara lain modal usaha, program keserasian sosial dan perbaikan jalan menuju makam dari Kementerian Sosial.

Kemudian, lanjut Edwin, bantuan paket perlengkapan pendidikan dari Kemendikbud, bantuan bibit dan mesin pertanian dari Kementerian Pertanian (Kementan), bantuan perbaikan musala dari Kemenag, pemasangan tiang dan sambungan listrik dari PLN, serta perbaikan jalan dari Kemen PUPR.

"Sebelumnya, bantuan medis dan rehabilitasi psikologis juga diberikan LPSK bagi korban Talangsari," kata Edwin.

Program psikososial bagi korban Talangsari masih akan berlanjut. Harapan yang sama akan rehabilitasi psikosial dapat diberikan kepada korban peristiwa pelanggaran HAM yang berat lain, seperti peristiwa di Aceh, Mei 98, Trisakti–Semanggi, 1998/1999 dan lainnya.

Edwin menjabarkan, sejak 2012, LPSK memberikan program rehabilitasi medis dan psikologis kepada 3.860 korban PHB dari 7 peristiwa. Namun, hal ini masih kurang dari cukup bagi korban. Mereka menghendaki hak-hak sebagai korban dapat diberikan sebagaimana diatur standar HAM, maupun dalam posisi mereka sebagai warga negara.

Harapan akan peningkatan kualitas hidup, tergambar dari survei yang dilakukan LPSK terhadap 353 korban PHB di 11 kabupaten atau kota di Jawa Tengah pada periode Maret- November 2020. Survei dilakukan untuk mengetahui kondisi, harapan, dan keinginan para korban PHB masa lalu.

Dari hasil survei didapatkan bahwa 95% responden berharap mendapatkan bantuan medis seumur hidup. Ini beralasan mengingat sebagian besar korban berusia lanjut dan kehidupan ekonominya menengah ke bawah.

Menurut Edwin, hal itu juga tergambar, 70% korban mengakui problem mendasarnya, yakni ekonomi. Menyandang status korban PBH, menambah kesulitan mereka melakukan aktivitas ekonomi akibat stigma sosial dan politik yang melekat.

Terkait harapan penyelesaian kasus, 50% responden menghendaki bantuan medis, rehabilitasi psikologis dan psikososial mereka dioptimalkan. Sementara korban lainnya sebanyak 35% berharap adanya pengungkapan kebenaran, 10% berharap ada permintaan maaf dari pelaku dan 5% lagi mendesak pelaku dipidana.

Satu poin penting yang juga diharapkan para korban PHB, yaitu kompensasi atau ganti rugi dari negara kepada korban. Kompensasi sebagaimana telah diperoleh korban terorisme masa lalu, yang diberikan tanpa putusan pengadilan tapi melalui LPSK.

Harapan tersebut, lanjut Edwin, sangat beralasan, apalagi bila merujuk waktu peristiwa dan durasi penderitaan korban PHB jauh lebih panjang, ditambah proses hukum yang tidak berjalan.

"Semoga negara terus bergerak maju dalam upaya penyelesaian PHB dan pemenuhan hak korban," ujar Edwin.

401