Home Gaya Hidup Heboh Perdunu, Pakar Kenalkan Santet Merah dan Kuning

Heboh Perdunu, Pakar Kenalkan Santet Merah dan Kuning

Yogyakarta, Gatra.com – Deklarasi Persatuan Dukun Nusantara (Perdunu) dan rencana festival santet di Banyuwangi menyita perhatian publik hingga menghapus kata santet di ajang itu. Namun, sesuai penelitian, pemahaman soal santet rupanya berbeda antara warga setempat dan publik di luar daerah tersebut.

Hal itu mengemuka dalam seminar nasional “Tradisi Lisan dari Berbagai Perspektif: Santet Using, Aji Pengasihan Bermagi Merah dan Kuning”. Acara ini digelar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (FIB UGM), Jumat (12/2), dan siarannya ditayangkan di kanal Youtube FIB UGM.

“Saat ini viral soal Perdunu dan seakan-akan seminar ini menyambut datangnya Perdunu. Padahal tidak ada momentum dan seminar ini sudah dirancang beberapa bulan lalu,” kata pengajar FIB Universitas Jember Heru SP Saputra yang menjadi pembicara utama seminar ini.

Heru telah menjalani studi master dan doktoral di FIB UGM dengan riset soal mantra dan santet Osing. Karya tesisnya bahkan telah dibukukan dengan judul ‘Memuja Mantra’.

Sesuai penelitiannya, santet di masyarakat Osing Banyuwangi terbagi dalam empat kategori sesuai warna: hitam, merah, kuning, dan putih. “Ada yang bertanya karena penasaran kok ada merah dan kuning seperti politik. Ini kekayaan budaya Osing,” ujar Heru.

Menurut dia, istilah santet pun masih kerap jadi perdebatan. “Dalam arti kita harus memahami santet Osing ini dalam konteks orang Osing. Kalau kita memahami dalam konteks di luar orang Osing, maknanya jadi berbeda,” kata dia.

Selama ini, Heru menjelaskan, banyak orang mengasumsikan santet itu untuk menyakiti bahkan membunuh orang lain. “Padahal sebenarnya tidak. Saya pertegas itu dengan adanya aji pengasihan dalam konteks santet Osing,” kata dia.

Heru pun menjelaskan pemahaman warga di Banyuwangi soal santet pun belum seragam. “Ada yang sebagian masih menganggap santet seperti (pemahaman) orang dari luar Banyuwangi yaitu santet untuk menyakiti, tapi ada pula yang sudah paham konteks kultural Osing dalam arti santet itu sebagai pengasihan,” kata dia.

Fenomena itu tak lepas dari kultur Banyuwangi yang kaya ritual yang mengandung makna sakral, seperti seblang dan keboan. Di sisi lain masyarakat Osing berciri egaliter, terbuka, dan adaptif.

Masyarakat Osing mengenal magi warna merah dan kuning dalam santet. Santet merah mengandung unsur dendam dan kebencian, sedangkan santet kuning bermotif ketulusan. Dua warna 'merah' dan 'kuning' itulah yang dipahami sebagai santet Osing sebagai aji pengasihan dengan contoh paling populer: aji jaran goyang.

Sesuai perkembangan zaman, tradisi mantra dalam santet, seperti jaran goyang, pun berkembang dari tradisi lisan, tulisan, cetak, hingga elektoronik, termasuk menjadi lagu. “Mantra yang semula sakral kemudian jadi profan untuk hiburan,” kata Heru.

1934