Home Politik IPI: Oposisi Juga Gunakan Buzzer untuk Serang Pemerintah

IPI: Oposisi Juga Gunakan Buzzer untuk Serang Pemerintah

Jakarta, Gatra.com - Direktur Indonesia Public Institute (IPI), Karyono Wibowo menuturkan, keberadaan buzzer jangan selalu dianggap negatif karena seringkali mereka juga menyuarakan hal positif. Bahkan, membela isu nasionalisme dan melawan kelompok intoleran, kelompok yang ingin memisahkan diri dari Indonesia.

 

Menurutnya, munculnya para buzzer lantaran buah dari demokrasi, media sosial, keterbukaan informasi dunia digital. Kata Karyono, siapapun bisa diorganisir sebagai kelompok, untuk digunakan baik politik maupun yang lain. Bisa digunakan untuk kepentingan apapun, bahkan sering sekali buzzer digunakan untuk kepentingan tertentu.

 

Namun, perspektif buzzer menjadi negatif bila digunakan untuk kelompok tertentu dalam hal ini menyerang pemerintahan. Sebaliknya, ketika ada suara positif, malah pemerintah yang dituduh memelihara buzzer.

 

"Kadang tidak fairnya, pemerintah dituduh mengorganisir, atau memelihara. Padahal pihak oposisi yang kerap menggunakan buzzer untuk menyerang pemerintah," ungkap Karyono kepada media, Minggu (14/2).

 

Begitu juga, kata Karyono, kekuatan kelompok garis keras, menggunakan buzzer untuk mendowngrade pancasila, lalu seakan meninggikan ideologi lain. Seperti hal yang dilakukan kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). "FPI juga menggunakan itu (buzzer), PKS juga menggunakan buzzer, untuk menyerang pemerintah," kata dia.

 

Untuk menghalau itu semua, Karyono sepakat pemerintah menggunakan UU ITE, karena untuk menjerat kelompok-kelompok tertentu yang menggunakan buzzer.

 

Sementara itu, penggiat media sosial Ade Armando menganggap keberadaan buzzer dalam demokrasi bukanlah hal baru, sehingga tidak perlu untuk ditertibkan.

 

Menurut Ade, penggunaan influencer dan buzzer untuk mensosialisasikan sebuah program atau kebijakan tertentu merupakan hal yang tak terhindarkan di era digitalisasi seperti sekarang ini.

 

"Malah bodoh sekali ketika kita tahu persis bahwa kita bisa meraih sasaran dengan lebih cepat dan luas jika menggunakan influencer, tetapi tidak menggunakannya," ucapnya.

 

Menurut Ade hal tersebut lumrah, karena terjadi dan siapa pun dapat menggunakan influencer atau buzzer. Kalaupun ada penindakan sejumlah orang yang mengkritik pemerintah, itu bukan lantaran karena kritiknya.

 

Namun, sambung Ade, mereka yang mengkritik kemudian dipolisikan, karena polisi mengendus ada unsur pidananya. Tidak seperti Refly Harun, Rocky Gerung sampai Din Syamsuddin yang masih aman meski sering mengkritik.

 

Memang ada kasus pengkritik yang kemudian berakhir di meja hukum, misalnya kasus Ustaz Maaher, Ahmad Dhani dan Habib Rizieq. Namun dalam tiga kasus ini, menurut Ade, mereka terjerat unsur pidana.

 

"Saya enggak ingat orang kritik Jokowi terus kena serangan hukum. Saya kan sering dianggap buzzer dibayar pemerintah untuk lawan Habib Rizieq, lho kan saya enggak dibayar pemerintah,” cetusnya.

 

Menurutnya, buzzer bagian sah dalam demokrasi, “Buzzer ini orang-orang sipil yang bicara membela yang dianggap benar, ini bukan negara, itu orang-orang sipil," lanjut Ade.

 

Dalam kasus yang dijerat dengan UU ITE, Ade melihat polisi sudah berusaha semaksimal mungkin menjaga dalam koridor demokrasi. "Saya enggak lihat bukti yang cukup bahwa pemerintah membiarkan aparatnya mengekang kebebasan ekspresi," tegasnya.

1285