Home Hukum Mahfud MD Dinilai Keliru soal RJ Kasus Perkosaan

Mahfud MD Dinilai Keliru soal RJ Kasus Perkosaan

Jakarta, Gatra.com – Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Indonesia Judicial Research Society (IJRS), dan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) menilai pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, soal restorative justice (RJ) dalam kasus perkosaan adalah keliru.

Direktur Eksekutif LeIP, Liza Farihah, dalam pernyataan pers pada Kamis (18/3), menyampaikan, Mahfud saat menjadi narasumber pada Rapim Polri, Selasa (16/2), mencontohkan tentang restorative justice dalam kasus atau perkara perkosaan.

Menunurut Mahfud, pendekatan restorative justice tidak bicara bahwa si pemerkosa harus ditangkap dan dibawa ke pengadilan untuk menjalani proses hukum. Restorative justice membangun harmoni agar antara keluarga korban dan pemerkosa serta masyarakat tidak gaduh.

"ICJR, IJRS, dan LeIP menyayangkan pernyataan ini. Ini adalah contoh kekeliruan memahami lahirnya restorative justice dan arti penting menerapkan nilai-nilai," ujarnya.

Sebagai catatan mendasar yang harus diketahui, nilai restorative justice hadir sejalan dengan gerakan penguatan hak korban, tititk sentralnya adalah menyelaraskan pemulihan korban dengan mekanisme-mekanisme penyelesaian sengketa yang memupuk pertanggungjawaban pelaku, untuk mencapai harmoni agar proses penyelesaian sengketa tersebut bersifat memulihan atau restoratif.

"Retorative justice bukan soal membungkam hak korban untuk mendapatkan harmoni semu di masyarakat," ujarnya.

Direktur Eksekutif IJRS, Dio Ashar, menambahkan bahwa pada kasus perkosaan, restorative justice dapat saja diterapkan, tetapi tetap yang menjadi titik sentral yang harus diperjuangkan.

Titik tersebut yakni mendengarkan dan memberi ruang bagi korban untuk menyampaikan kerugiannya, membuat pelaku menyadari perbuatannya, dan memahami dampak dari perbuatan yang dilakukannya, untuk kemudian menyelaraskan pertanggungjawaban pelaku untuk bisa berdampak positif bagi pemulihan korban.

"Pernyataan Menkopolhukam yang menilai restorative justice pada kasus perkosaan tidak untuk menangkap dan mengadili pelaku tidak tepat," katanya.

Menurut Dio, meminta pelaku dan korban dinikahkan dengan alasan menjaga harmoni dan nama baik keluarga, justru adalah contoh buruk praktik selama ini yang bertentangan dan tidak sejalan dengan nilai dan prinsip restorative justice.

Peneliti ICJR, Maidina Rahmawati, menambahkan, pernyataan tersebut juga tidak berpihak pada upaya-upaya untuk memberikan penguatan pengaturan hak korban perkosaan ataupun kekerasan seksual.

"Padahal data survei Lentera Sintas Indonesia pada 2016 lalu terhadap 25.213 responden korban kekerasan seksual, ditemukan 93% korban perkosaan tidak melaporkan kasusnya," ungkap dia.

Adapun salah satu alasan mendasar, yakni adanya ketakutan dengan narasi menyalahkan korban. Survei terbaru IJRS dan Infid pada 2020, juga menujukkan bahwa 57,4% responden yang pernah mengalami kekerasan seksual menyatakan aparat penegak hukum tidak responsif terhadap kasus kekerasan seksual.

"Dengan adanya pernyataan ini, aktor high level yang seharusnya memberikan jaminan hak korban, justru semakin tidak berpihak pada korban," ujarnya.

ICJR, IJRS, dan LeIP meminta Menko Polhukam untuk segera meluruskan dan mengklarifikasi pernyataan tersebut, serta memberikan jaminan bahwa penerapan restorative justice harus dipahami oleh seluruh jajaran pemerintah dan aparat penegak hukum untuk meletakkan kepentingan dan pemulihan korban sebagai fokus utama.

307