Home Gaya Hidup Sekelumit Kisah Sedulur Sikep di Kudus

Sekelumit Kisah Sedulur Sikep di Kudus

Kudus, Gatra.com - Penghayat kepercayaan Sedulur Sikep yang diajarkan oleh Samin Surosentiko (Raden Kohar) masih diamalkan sejumlah masyarakat di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Seperti di Larikrejo, Kaliyoso, Karangrowo, dan Kutuk yang masuk wilayah Kecamatan Undaan.

Di Larikrejo yang terletak sejauh 12 kilometer dari pusat Kota Kudus, terdapat sekitar 10-18 kepala keluarga (KK) yang menganut ajaran saminisme. Dari jumlah tersebut, mayoritas mereka hidup sebagai petani.

Sesepuh Sedulur Sikep Larikrejo, Budi Santosa yang merupakan keturunan murid Samin Surosentiko mengatakan, jika ajaran Sedulur Sikep lebih menekankan kearifan lokal masyarakat Jawa, interaksi antar sesama manusia, dan berselaras dengan alam.

“Sejarah sikep itu tidak tertulis, tetapi melalui budaya tutur. Sehingga pemahaman masing-masing pengikutnya sedikit berbeda, khususnya ajaran-ajaran yang diyakini,” ujarnya, Kamis (11/3).

Ia menegaskan, ajaran sikep sudah ada jauh sebelum era kolonialisme masuk ke Nusantara. Mengingat, ajaran sikep meneruskan apa yang menjadi ajaran warisan leluhur orang Jawa, atau dijelaskan Budi, sebagai Agama Adam atau orang awam menyebutnya sebagai Kapitayan.

Hanya saja, lanjut Budi, ajaran Sedulur Sikep yang berlandaskan ajaran kerohanian Genah Dunungeng Roso, Ngerteno Mulo Sangkan Paranging Dumadi, Gumelare Jagad Sepisanan Jagad Sing Awang-Awang Uwung-Uwung itu kembali terkenal luas, saat Samin Surosentiko melakukan perlawanan tanpa menumpahkan darah terhadap penjajah Belanda.

“Sebenarnya ajaran Sikep ini, setahu orang kan ada di era pergerakan melawan Belanda. Sebenarnya ajaran kerohanian itu sudah ada sebelumnya, bukan di eranya Belanda,” bebernya.

Selain itu dalam kesehariannya, pengikut Sedulur Sikep juga ditekankan untuk tidak srei (jegal), jrengki (benci), dahpen (mencela), panasaten (mudah marah), kemiren (iri hati), saling menghormati, saling menghargai, dan laku baik lainnya.

Kaum sedulur sikep selalu memiliki tampilan khas seperti mengenakan pakaian Jawa serba hitam dan ikat kepala. Pakaian adat ini adalah wujud pegangan orang Jawa yang tidak dapat ditinggalkan.

“Leluhur orang Jawa ini kurang apa coba, semua sudah dipikirkan sejak dulu. Bagaimana bertingkah laku, andap asor, unggah ungguh, sastra, bahasa, pitungan, dan masih banyak lagi. Sehingga kami jalankan apa yang menjadi kearifan lokal itu,” terangnya.

Meski begitu, dalam kesehariannya komunitas ini mulai membuka diri dengan perubahan zaman. Mengingat Budi meyakini adanya kalimat “endi sing kudu ditinggal, ndi sing kudu digowo (Mana yang harus ditinggal dan mana yang harus tetap diamalkan).”

“Sekali lagi, ajaran ini melalui tutur. Jadi satu sama lain memiliki dasar yang berbeda-beda. Misalnya sekolah, keluarga saya semua sekolah formal. Sementara kelompok lain ada yang tidak mau sekolah,” tuturnya.

Bagi Budi, tanah Jawa sekarang sudah merdeka dari tangan bangsa kolonial. Sehingga baginya wajib mengikuti aturan pemerintah saat ini. “Kalau zaman Belanda wajar, tidak sekolah, wajar tidak mengikuti aturan pemerintah Belanda karena mereka penjajah. Kalau sekarang kan sudah merdeka, jadi kita ikuti aturan pemerintah,” bebernya.

Di dalam bercocok tanam, ia pun mengaku telah mengikuti seruan program pemerintah. Lantaran metode lama dirasa sudah tidak lagi relevan sekarang ini. “Setelah ada irigasi, kita serempak sesuai aturan pemerintah. Saya pernah 2 tahun kembali ke cara lama, dengan mengurangi pupuk dan pestisida kimia hasilnya merosot tajam,” ungkap Budi.

Meski begitu, setiap mau menanam maupun memanen padi, pihaknya tidak meninggalkan praktik-praktik yang dijalankan sedulur sikep. “Nyengkuyung sandang pangan kan memang harus diselameti, kami biasa menyebutnya brukuhan. Adanya brukuhan diharapkan kita selalu dilimpahi hidup sehat dan kecukupan, begitu pula padi yang kami tanam bisa panen dengan baik,” terangnya.

Ditambahkan, walau sedulur sikep tidak memiliki hari raya khusus seperti aliran kepercayaan atau agama lainnya. Namun setiap pada bulan Suro dalam penanggalan Jawa, kaum sikep biasa melangsungkan tirakat muteh (puasa, makan tidak mengandung hewan hidup, biasanya hanya nasi putih saja). Tidak tidur sehari-semalam, dan semedi (meditasi, pemusatan pikiran dan perasaan) secara bersama-sama.

“Itu tadi kan ajaran Jawa, sehingga kalau kita klaim sebagai Hari Raya Sikep, kan enggak baik. Kalau kita mau buat hari raya sendiri sebetulnya bisa saja, kalau kita mau,” tuturnya.

Adanya stigma negatif seperti kolot, bodoh, dan tidak mengikuti aturan, merupakan produk Belanda di era kolonial yang dilabelkan pada Sedulur Sikep. Hal itu dilakukan agar paham perlawanan terhadap penjajah yang digagas Samin Surosentiko saat itu tidak semakin meluas. “Saya kira stigma negatif buatan Belanda itu masih ada sampai sekarang,” tandasnya.

 

3929