Home Milenial Dari Qzruh-Joxzin ke Podcast, Merekam Klitih di Kota Pelajar

Dari Qzruh-Joxzin ke Podcast, Merekam Klitih di Kota Pelajar

Bantul, Gatra.com – Sejumlah seniman muda Yogyakarta menggelar pameran seni tentang klitih atau aksi kriminal jalanan oleh pelajar di Daerah Istimewa Yogyakarta. Ajang ini sekaligus menjadi ruang ekspresi para penyintas klitih di tengah minimnya ruang sosial untuk mereka.

‘Qita Zuka Ruzuh untuk Hiburan’. Ditulis dengan huruf-huruf genit, kalimat itu rupanya akronim dari salah satu geng ternama di kota pelajar: Qzruh. Kelompok itu eksis bersama Joxzin alias ‘Joxo Zinthing’ dan Humoriz kependekan dari ‘Humornya Anak Maniezt’.

Nama-nama geng kampung itu bersama belasan yang lain terpampang di pameran ‘The Museum of Lost Space’ digelar di Galeri Lorong, Kasihan, Kabupaten Bantul.

Nama-nama geng di kota pelajar pada era 80-90-an terkesan lucu dan main-main. Sebagian yang lain terdengar asing karena menyebut kepanjangan nama geng itu sekaligus mengungkap asal-usul nama mereka yang terdengar sangar.

Di sebelahnya, di dinding ruang pameran, kliping pemberitaan, foto, dan unggahan media sosial seputar klitih terpampang di tiga sisi, termasuk menampilkan korban yang babak belur atau pelaku yang berakhir di bui.

Di tengahnya, dalam dua kotak kaca, tersimpan replica senjata aksi kekerasan para pelajar, dari pisau, sangkur, hingga pistol. Dua di antaranya senjata yang diperoleh langsung dari pelaku: sebilah pedang dan ‘ekor ikan pari’ senjata rakitan dari gir sepeda yang disambung dengan sabuk.

Di sudut lain, nama-nama SMA di Kota Yogyakarta dan Bantul didaftar beserta nama geng dari sekolah itu. Tak selalu geng-geng sekolah ini terlibat dengan aksi kekerasan, tapi cukup bergerombol dan kongko sesame siswa satu sekolah.

Uniknya, saat sejumlah siswa SMA datang dan menyaksikan pameran ini mereka boleh menambahkan daftar nama geng sekolah yang belum tercantum. Mereka juga menempelkan lokasi sekolah di peta yang disediakan di pameran layaknya aplikasi share loc.

Di sebelah karya ini, sebuah dinding kosong disediakan untuk aksi corat-coret dan grafiti bagi pelajar. Alhasil, dua pekan setelah pameran dihelat, Sabtu (20/3), dinding itu nyaris penuh dengan coretan.

Di hadapan dinding ini, di bagian lorong kecil galeri, karya-karya etsa yang menampilkan fragmen-fragmen kekerasan klitih dipajang. Di sebelahnya, beberapa buku berisi gambar, tulisan, foto, dan curhat, apapun karya dari para penyintas klitih dipersilakan untuk dibaca.

Sementara di sudut, di satu bilik tersendiri, rekaman cerita dan kesaksian dari para pelajar pelaku klitih diperdengarkan. Apa adanya, dalam bahasa campur Indonesia dan Jawa, tanpa sensor.

Karya-karya di pameran ini dipersembahkan seniman muda Yahya Dwi Kurniawan dan empat rekannya. Selama delapan bulan, Yahya bertemu dan ngobrol dengan sekitar 100 orang pelaku dan penyintas klitih di Yogyakarta.

“Dulu geng di Yogyakarta itu dari geng kampung, geng (sepeda) BMX, lalu ke pelajar, dan melebar ke ormas dan partai,” kata Yahya yang sempat terlibat di geng jalanan.

Menurut Yahya, jalan kekerasan ditempuh para pelajar ini karena ruang ekspresi mereka di Yogyakarta menyempit. “Dengan UMR orang tua mereka yang rendah, enggak mungkin mereka nongkrong di coffee shop setiap hari. Mereka pasti di pinggiran. Secara ekonomi dan kepintaran, mereka kalah dari anak luar kota,” paparnya.

Pameran ini digelar sejak 6 Maret dan dibuka lewat sebuah pertunjukan teater tentang klitih. ‘Museum klitih’ ini dapat dikunjungi hingga 6 April mendatang. Namun gerakan untuk memberi ruang ekspresi pada pelajar penyintas tak berhenti sebatas di pameran ini.

“Kami tengah siapkan buku dan podcast yang mengajak teman-teman klitih untuk bebas bercerita dan siapa tahu dapat di-monetize,” katanya.

2029