Home Gaya Hidup Jelang Ramadan, Warga Sadranan di Bekas Keraton Kartasura

Jelang Ramadan, Warga Sadranan di Bekas Keraton Kartasura

Sukoharjo, Gatra.com- Jelang Ramadan, ratusan warga dan ahli waris mengikuti upacara sadranan di makam kawasan bekas Keraton Kartasura, Minggu (4/4). Upacara ini sebagai media untuk mendoakan arwah para leluhur.
 
Dari pantauan di lokasi, warga yang hadir dengan hikmat dan khusyu mengikuti sadranan ini. Usai membaca tahlil, zikir, dan doa bersama, mereka langsung nyekar ke makam leluhurnya dan menaburkan bunga. 
 
Bahkan terlihat hadir putri raja Keraton Kasunanan Surakarta Sinuhun Paku Buwono (PB) XII, GKR Wandasari Koes Moertiyah, KP Eddy Wirabhumi, dan kerabat-kerabat keraton lainnya. 
 
"Sadranan ini upacara kirim doa untuk arwah leluhur. Ini rutin digelar setiap menjelang datangnya bulan Ramadan," ujar koordinator pelaksana sadranan di Keraton Kartasura, Bagus Sigit Setiawan saat ditemui disela-sela acara, Minggu (4/4).
 
Sebelum tradisi sadranan, terlebih dahulu dilakukan bersih-bersih makam oleh kelompok masyarakat atau ahli waris. Tradisi sadranan ini juga sebagai upaya untuk mengangkat kembali Keraton Kartasura yang merupakan cikal bakal Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat san Kota Solo mengingat kondisinya kurang terawat dan tembok keraton hampir roboh.
 
"Besar harapan kami ada perhatian lebih untuk merawat sisa-sisa peninggalan Keraton Kartasura ini. Karena selam ini kurang terawat, kami mau membersihkan pun ada hambatan bagaimana tata cara membersihkan situs," terangnya.
 
Di bekas Keraton Kartasura ini terdapat salah satu makam kerabat keraton, yaitu Nyai Sedah Mirah. Konon, Sedah Mirah merupakan panglima perempuan yang melawan penjajah. 
 
"Ini bisa menjadi lokasi wisata sejarah bagi warga khususnya generasi muda," imbuhnya.
 
Juru Kunci Hastana Keraton Kartasura, Mas Ngabehi Surya Hastono Hadiprojonagaro mengatakan, tradisi sadranan ini sudah mulai digelar sejak 1945. Sejak itu rutin digelar hingga sekarang ini untuk warga. 
 
"Ini sudah digelar turun temurun sejak 1945 dan akan digelar menerus. Sudah dipakai untuk makam sudah cukup lama dan sudah tidak boleh untuk makam pada 2010," katanya.
 
Lewat tradisi sadranan ini diharapkan bisa mengangkat dan mengenal Keraton Kartasura. Karena selama ini lebih dikenal sebagai pemakaman, bukan sebagai bekas kerajaan, padahal bisa untuk wisata sejarah.
 
"Adanya tradisi ini bisa dikenal khususnya anak-anak. Ini juga untuk melestarikan budaya atau nguri-nguri budaya jawab," ucapnya.
 
Sementara itu kerabat Keraton Kasunanan Surakarta, GKR Wandasari Koes Moertiyah menambahkan tradisi sadranan ini harus dilestarikan dan dimunculkan kembali. Dengan bisa mengembalikan roh sebagai Keraton Kartasura bukan pemakaman.
 
"Ini warga biar tahu kalau di sini pernah berdiri Keraton Kartasura. Tradisi ini sangat bagus, apalagi perawatan rutin dilakukan, bahkan sekarang sudah ada petugas BPCB yang tugas di sini," tutur perempuan yang akrab disapa Gusti Mung tersebut.
 
Ia menegaskan, bagi Keraton Kasunanan Surakarta di sini ada leluhur yakni Nyai Sedah Mirah yang dimakamkan. Ia merupakan ahli politik perempuan pada masa PB III dan menjadi pengageng perintah keputren yang membawahi pemerintahan putri-putri di keraton.
 
"Ini sudah jadi kewajiban keraton untuk tetap menjaga dan melestarikan makam beliau di bekas Kerajaan Kartasura. Saya berterima kasih dengan warga dan kelompok masyarakat yang sudah sadar untuk melestarikan, berharap kedepan ada perhatian dari pemerintah," tandasnya.
2153