Home Gaya Hidup Dekat Tempat Karaoke, Ini Sejarah Musala Pertama di Tegal

Dekat Tempat Karaoke, Ini Sejarah Musala Pertama di Tegal

Tegal, Gatra.com- Musala Istiqomah di Kota Tegal, Jawa Tengah menjadi jejak sejarah penyebaran Islam. Musala yang juga dikenal dengan nama Langgar Dhuwur ini merupakan musala pertama di Kota Bahari.

Musala tersebut berlokasi di Kampung Pesengkongan, Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat. Letaknya tersembunyi di tengah permukiman padat penduduk.

Akses menuju musala itu yakni sebuah gang selebar sekitar satu meter yang berada di Jalan S Parman. Penanda gang yang berada di seberang sebuah tempat karaoke di Jalan S Parman itu yakni gapura bertuliskan Pesengkongan, Kawasan Bersejarah Awal Penyebaran Islam di Tegal.

Musala Istiqomah menempati lantai atas bangunan dua lantai. Hal ini yang membuat musala ini disebut juga Langgar Dhuwur yang artinya musala yang berada di atas.

Memiliki luas 182 meter persegi, Musala Istiqomah sudah berusia dua abad lebih. Sebelum direnovasi pada 2020, bangunan asli musala seluruhnya menggunakan kayu jati mulai dari tiang penyangga, dinding, lantai hingga ornamen penghias.

Setelah direnovasi, bagian tiang, dinding dan lantai sudah berganti menjadi cor-coran. Renovasi harus dilakukan karena kondisi kayu sudah lapuk.

Bagian musala yang masih asli dan digunakan hingga saat ini yakni kubah, mimbar dan kentongan untuk menandai waktu salat. Kayu bekas bangunan lama juga ada yang dimanfaatkan sebagai ornamen.

Pengurus musala, Helmi Saleh (61) mengungkapkan, musala dibangun pada 1820 oleh para saudagar dari Gujarat dan sejumlah daerah di luar Jawa yang datang ke Tegal untuk berdagang sekaligus menyebarkan Islam.

"Para pendatang dari Sumatera, Sulawesi dan Gujarat datang ke Tegal dan membuat perkampungan Melayu yang kemudian dinamai Kampung Pesengkongan. Di sini mereka juga membangun musala. Bisa dibilang ini musala pertama di Kota Tegal," kata Helmi saat ditemui, Sabtu (10/4).

Di Kampung Pesengkongan, para pendatang tersebut berbaur dengan masyarakat setempat dan menjadikan Langgar Dhuwur sebagai pusat syiar Islam. Nama Pesengkongan sendiri menurut cerita turun temurun berasal dari nama salah satu saudagar yang ikut membangun musala.

"Nama Pesengkongan tidak tahu diambil dari mana. Yang jelas kalau jaman Belanda ada pembagian, ada kampung Melayu, kampung Tionghoa, nah di sini orang melayu satu kotak," ujar Helmi.

Helmi bercerita, pada masa dulu bangunan lantai atas musala digunakan sebagai sarana ibadah dan syiar Islam, sedangkan bangunan lantai bawah dijadikan tempat berkumpul dan berkegiatan calon jemaah haji dari Kota Tegal dan sekitarnya sebelum berangkat ke Tanah Suci. Kala itu, pemberangkatan ibadah haji masih melalui jalur laut.

"Dulu letak musala dekat dengan pelabuhan, jaraknya sekitar 700 meter. Jadi orang-orang yang mau pergi haji nunggu kapal berlabuh di Langgar Dhuwur, di lantai yang bawah. Mereka diberangkatkan dari sini naik kapal. Setelah pulang dari haji, mereka pulang ke daerah asalnya dan berdakwah," ujar Helmi.

Jejak lain syiar Islam di Musala Istiqomah yakni dua ruangan di dalam musala yang mengapit mimbar dan tempat imam. Kedua ruangan itu pernah ditempati syekh dari Gujarat.

"Itu kamar Syeh dari Gujarat yang melakukan syiar Islam dan membimbing orang-orang yang akan menunaikan ibadah haji. Malah sini dulu ada kantor catatan agama pertama sebelum pindah ke Jalan Perintis Kemerdekaan (Kantor Kementerian Agama Tegal)," sebut Helmi.

Menurut Helmi, nama Langgar Dhuwur digunakan oleh orang-orang pada masa itu yang merujuk pada lokasi musala. Sedangkan nama Musala Istiqomah baru mulai digunakan pada 1970.

"Saat itu belum ada namanya, jadi orang-orang nyebutnya Langgar Dhuwur karena memang tempat salatnya di atas, dhuwur gitu. Kalau nama Musala Istiqomah untuk catatan administrasi di pemerintah," ujar Helmi.

Sebagai musala tertua yang memiliki jejak sejarah penyebaran Islam, Musala Istiqomah pernah direncanakan menjadi cagar budaya dan salah satu wisata religi oleh Pemkot Tegal. Namun rencana itu tak lagi terdengar kelanjutannya.

Pengurus musala akhirnya juga melakukan renovasi bangunan musala menggunakan dana swadaya dan sumbangan donatur karena kondisi bangunan musala sudah membahayakan.

"Kami sudah mendatangi pemkot, tapi tidak ada tindaklanjut. Akhirnya kami renovasi sendiri. Renovasi dilakukan karena kondisi kayu yang dijadikan tiang, dinding dan lantai sudah lapuk. Warga yang salat takut kalau tiba-tiba ambruk," ujar Helmi.

1503