Home Hukum Periksa Perkara Perempuan, Hakim Dilarang Lakukan 4 Hal Ini

Periksa Perkara Perempuan, Hakim Dilarang Lakukan 4 Hal Ini

Jakarta, Gatra.com – Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi Tanjung Karang, Diah Sulastri Dewi menyatakan ada empat larangan untuk hakim saat memeriksa perkara perempuan berhadapan dengan hukum. Aturan ini bertujuan untuk menjamin hak perempuan terhadap akses yang setara dalam memperoleh keadilan.

"Bahwasanya dalam memeriksa perempuan berhadapan hukum, hakim tidak boleh menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan, menyalahkan, dan/atau mengintimidasi. Ini harus dipahami para hakim," terangnya dalam talkshow bertema 'Perempuan Penegak Hukum Memaknai RA. Kartini dalam Upaya Perlindungan Perempuan dan Anak, Rabu (21/4).

Selain itu, hakim tidak boleh membenarkan terjadinya diskriminasi yang bias gender terhadap perempuan. Kemudian tidak pula mempertanyakan dan/atau mempertimbangkan pengalaman atau latar belakang seksualitas korban untuk membebaskan atau meringankan hukuman pelaku.

"Misalnya dia seorang perempuan, tengah malam berjalan pulang dari tugasnya sebagai pemandu lagu. Nah dengan pakaian yang minimalis, saat berjalan itu kemudian diperkosa. Hakim tidak boleh mempertanyakan apakah dia telah ada hasil visum et repertum bahwasanya perempuan tersebut pernah melakukan hubungan seksual," paparnya.

Larangan lain yaitu hakim tidak boleh mengeluarkan pernyataan atau pandangan yang mengandung sterotipe gender. Empat larangan tadi tertuang dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.

Sementara itu, untuk perkara anak, hakim juga telah memiliki pedoman, yaitu PERMA Nomor 4 tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Hakim dituntut profesional untuk memiliki perspektif yang sensitif anak.

"Bagaimana anak harus dipulihkan, bagaimana anak menjalani proses beracara sehingga dia tidak akan kembali lagi kepada apa yang telah ia lakukan," tambahnya.

Sebab, menurut Dewi, anak sebagai pelaku bukanlah pelaku murni. Tetapi anak sebagai pelaku juga korban.

143