Home Gaya Hidup Menengok Masjid Wali Loram dan Kecerdikan Sultan Hadirin

Menengok Masjid Wali Loram dan Kecerdikan Sultan Hadirin

Kudus, Gatra.com - Masjid At-Taqwa atau yang dikenal sebagai Masjid Wali Loram adalah salah satu saksi peninggalan siar agama Islam di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. 

Masjid yang memiliki gapura yang identik dengan arsitektur Hindu-Jawa ini didirkan Sultan Hadirin. 

Pengurus Masjid dan Juru Pelihara Cagar Budya, Afroh Aminuddin mengatakan, masjid yang dibangun pada tahun 1597 ini memiliki gapura bernama Padureksan. Uniknya Gapura Padureksan dibangun pada 1596, atau terlebih dahulu dari pada masjidnya. 

“Mbah Sultan Hadirin tidak mau masyarakat yang saat itu non-Islam kaget. Jadi dibangunlah gapuranya dahulu untuk berdakwah ajaran Islam,” ujarnya saat ditemui selepas salat Dzuhur di masjid setempat, Senin (26/4). 

Gapura Padureksan sendiri dapat dilihat di sisi depan masjid atau terletak di sebalah timur. Lantaran usia dan nilai historis yang dikandungnya, gapura ini pun telah ditetapkan sebagai benda cagar budaya. 

“Jadi peninggalan Mbah Sultan Hadirin yang berupa bangunan fisik itu ada tiga, yakni masjid, gapura, dan sumur. Khusus untuk bangunan masjidnya telah berubah total, yang asli tinggal gapura dan sumurnya saja,” bebernya. 

Alasan Sultan Hadirin terlebih dahulu membangun gapura, dituturkan Afroh, sebagai strategi dakwah. Karena saat itu, mayoritas masyarakat memeluk agama Hindu. Sultan Hadirin pun menamai bangunan berbentuk Pura itu, menjadi Gapuro akronim Gofuro dalam bahasa Arab yang berarti tempat untuk meminta maaf (panggonan jalok ngapuro). 

Sosok Sultan Hadirin merupakan suami Raden Roro Ayu Kalinyamat sang penguasa Jepara. Hanya saja, setelah sekian tahun menjalin rumah tangga, pasangan tersebut tidak dikaruniai anak. 

Kasihan dengan suaminya, sang Ratu Kalinyamat memperkenankan suaminya untuk menikah lagi. Dan dijodohkanlah Sultan Hadirin kepada Raden Ayu Pridobinabar yang tak lain putri Sunan Kudus. 

“Setelah menikah, Sultan Hadirin diminta untuk turut menyiarkan agama Islam oleh Sunan Kudus,” ungkapnya. 

Dari sekian wilayah dipilihlah Desa Loram untuk syiarnya berjuang demi agama. Sultan Hadirin memilih daerah ini karena memiliki lokasi yang strategis, dan dilalui sungai. Sehingga dinilai efektif untuk menyebarkan agama Islam kala itu. 

Sementara, terkait pemugaran hingga perombakan total masjid, dikatakan Afroh melalui beberapa tahapan. Dimulai pada tahun 1971 bangunan masjid diperluas dengan ditambah serambi. Lantaran tidak mampu menampung lagi jumlah jamaah, Masjid At-Taqwa dipugar habis-habisan pada tahun 1990. Dan pada tahun 2011, serambi yang semula hanya satu lintai dibuat menjadi berlantai dua. 

“Tahun 1990 direnovasi total karena tidak lagi menampung Salat Ied. Direnovasi total karena belum ada undang-undang cagar budaya juga,” ungkap Afroh. 

Sedangkan, gapura direnovasi oleh tim Dinas Purbakala Jawa Tengah (saat itu) pada tahun 1996. Gapura mengalami kemiringan karena dimakan usia, sehingga perlu pembenahan. 

“Itu kalau tidak dibenahi bakal rusak, sehingga tim renovasi dari Dinas Purbakala Jateng sendiri yang turun tangan,” jelasnya. 

Selain meninggalkan bangunan fisik, Sultan Hadirin juga mewariskan sejumlah tradisi dan budaya kepada masyarakat di Kabupaten Kudus khususnya. Diantaranya Kirab Kemanten dan Sodaqoh Sego Kepel (sedekah nasi kepal). 

“Itu tradisi budaya yang saat ini masih dilestarikan oleh masyarakat Loram Kulon, Loram Wetan, dan sekitarnya. Termasuk masyarakat yang masih memiliki garis keturunan atau trah Loram meski tidak lagi tinggal di Kudus,” ungkapnya.

1766