Home Ekonomi Kerap Diterpa Isu Negatif, Ini Solusi Kampanye Sawit

Kerap Diterpa Isu Negatif, Ini Solusi Kampanye Sawit

Pekanbaru, Gatra.com- Sorotan negatif yang mendera kepala sawit di pasar internasional, dapat mendorong pemangku kepentingan merubah pendekatan komunikasi dalam melindungi komoditi kelapa sawit di pasar dunia. 
 
Menurut akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB), Profesor Suria Darma Tarigan, cara itu dapat dilakukan dengan menggunakan narasi keberlanjutan global, berdiplomasi berdasarkan hasil riset, dan menghindari kesimpulan kajian yang sifatnya parsial. 
 
"Jadi hindari kesimpulan kajian parsial, dan perlu melihat keberlanjutan dari 4 capital pembangunan pada rantai pasok secara menyeluruh,"ujarnya dalam seri webinar yang ditajah The Society of Indonesia Sciences of Journalis (SISJ),Jum'at (30/4). 
 
Prof Suria menilai saat ini komunikasi soal kelapa sawit cendrung lebih membuka ruang untuk modal produksi (produced kapital) . Padahal, dalam usaha kelapa sawit terdapat modal lainya yang juga harus diekspos. 
 
"Selama ini cendrung aspek ekonominya saja yang didengungkan. Padahal selain modal kapital juga ada yang namanya human capital, sosial capital dan nature capital. Modal-modal ini yang juga harus disuarakan," serunya. 
 
Lebih lanjut ia mengatakan, kaitan sawit dengan nature capital belakangan semakin punya gaung. Oleh sebab itu pemangku kepentingan perlu menjelaskan hal tersebut agar  kampanye negatif yang mendera sawit dapat diredam. 
 
"Idealnya setiap modal pembangunan disekitaran rantai pasok sawit itu balance. Jadi tidak hanya berbicara soal ekonominya saja, tapi juga soal alam, lingkungan sosial dan manusianya," ujarnya. 
 
Pemerintah belakangan ini disibukan oleh sorotan negatif terhadap kelapa sawit di panggung internasional, terutama di pasar Uni Eropa dan Amerika Serikat. Komoditi yang dominan di Pulau Sumatera dan Kalimantan tersebut dituding sebagai salah satu biang kerusakan hutan tropis. 
 
Bahkan, minyak sawit nyaris dilarang masuk ke pasar Swiss, lantaran adanya penolakan warga setempat atas minyak sawit yang dinilai tak berkelanjutan. Belakangan referendum yang ketat berhasil menganggalkan opsi tersebut. 
 
Menurut Profesor Suria, meski ekspor minyak sawit Indonesia saat ini terlihat normal. Pemangku kepentingan perlu melihat trend kedepan, dimana ada kecenderungan perdagangan global  mensyaratkan produk-produk ramah lingkungan dengan lebih massif. 
 
"Sekarang mungkin masih free trade area (FTA), tapi kedepan mungkin ada persyaratan yang lebih ketat untuk komoditas tersebut," tukasnya. 
 
Sebagai informasi, referendum yang mendera minyak sawit Indonesia di Swiss juga dilatari oleh masuknya komoditi tersebut dalam FTA antara Indonesia dengan Swiss, Norwegia, Islandia, dan Liechtenstein pada tahun 2018.
 
Hingga kini kelapa sawit masih menjadi komoditi menjanjikan bagi ekonomi Indonesia. Untuk gambaran, merujuk catatan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) pada kuartal ketiga 2020. Ekspor minyak sawit mampu memberikan sumbangan devisa sebesar US$15 miliar atau setara Rp212 triliun.
145