Home Hukum Pemerintah Dinilai Gagal Lindungi Buruh Selama Pandemi

Pemerintah Dinilai Gagal Lindungi Buruh Selama Pandemi

Jakarta, Gatra.com –‎ Gerakan Buruh bersama Rakyat (Gebrak) menyebut pemerintah gagal melindungi kelas buruh sepanjang setahun lebih pandemi Covid-19 terjadi di Indonesia. Gebrak, yang turun ke jalan menggelar aksi peringatan Hari Buruh Sedunia pada Sabtu (1/5), membeberkan ada 11 kebijakan yang menyengsarakan buruh.

"Tercatat ada sebelas kebijakan dan peraturan yang menyengsarakan kelas buruh terbit sepanjang satu tahun pandemi. Empat berupa surat edaran menteri, satu undang-undang, satu peraturan menteri, satu peraturan presiden, dan empat peraturan pemerintah," kata perwakilan Gebrak, Nining Elitos melalui keterangan resminya.

Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) itu membeberkan kebijakan yang bermasalah tersebut.

Nining mengatakan, sepanjang setahun ini pemotongan upah dengan dalih pandemi dilegitimasi lewat Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pengupahan pada Industri Padat Karya Tertentu dalam Masa Pandemi Covid-19.

Dalam aturan itu, kata dia, tidak ada batasan maksimal pemotongan upah dan tidak ada tolok ukur yang jelas serta ketat mengenai syarat ketidakmampuan keuangan perusahaan sehingga sangat merugikan kelas buruh.

Sementara itu, kewajiban pengusaha membayar Tunjangan Hari Raya (THR) juga dilemahkan melalui Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/6/HI.00.01/V/2020 yang membolehkan adanya pembayaran THR secara dicicil pada tahun lalu.

Menjelang Idulfitri 2021, Kementerian Ketenagakerjaan kembali mengeluarkan Surat Edaran Nomor M/6/HK.04/IV/2021 yang masih bermasalah karena tidak memberikan tolok ukur ketidakmampuan keuangan perusahaan.

"Selain itu, Kementerian Ketenagakerjaan juga mengintervensi kewenangan gubernur dan bupati/wali kota dengan mengeluarkan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/11/HK.04/X/2020 yang meniadakan kenaikan upah minimum dengan dalih pandemi," jelas dia.

Kendati demikian, Nining menyatakan, masih ada lima provinsi yang mengabaikan surat edaran itu dan tetap menaikkan upah minimum provinsinya, yaitu DKI Jakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, DI Yogyakarta, dan Jawa Tengah.

Nining menambahkan, pemerintah dan DPR juga bertanggung jawab atas terjadinya gelombang PHK massal selama pandemi karena omnibus law UU Cipta Kerja telah mempermudah terjadinya pemecatan dan menggerus hak dasar buruh.

"Setidaknya telah terbit empat peraturan pemerintah turunan UU Cipta Kerja yang merugikan kepentingan kelas buruh, yaitu terkait penggunaan tenaga kerja asing, perpanjangan periode Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP)," terang dia.

Serentetan aturan bermasalah ini, lanjut Nining, tidak dapat dilepas dari kegagalan skema pembangunan nasional yang bergantung pada investasi. Menurutnya, ketika terjadi guncangan pada sistem kapitalisme global seperti hari ini, maka rakyat yang dijadikan tumbal dengan dalih penyelamatan ekonomi nasional.

"Rakyat pun kehilangan kedaulatan atas akses sumber ekonomi yang selama ini sebenarnya menopang perekonomian negara lewat konsumsi rumah tangganya," kata dia.

Atas sederet kebijakan bermasalah ini, Gebrak mendesak agar pemerintah mencabut UU Cipta Kerja beserta peraturan turunannya, memberikan hak dasar buruh, memberikan jaminan perlindungan atas hak bekerja, serta penghapusan sistem outsourcing.

Pemerintah juga didesak agar menghentikan kriminalisasi terhadap rakyat yang anti-UU Cipta Kerja. Di Banten, kriminalisasi dialami oleh belasan mahasiswa massa aksi penolak UU Cipta Kerja. Hingga hari ini, sembilan mahasiswa masih menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri Serang, Banten.

799