Home Kolom Predikat Teroris OPM-KKB dan Asa Perdamaian Papua

Predikat Teroris OPM-KKB dan Asa Perdamaian Papua

Predikat Teroris KKB Mampu(kah) Wujudkan Perdamaian Papua?

Oleh: Soleman B. Ponto*

 

Untuk mewujudkan perdamaian di Papua, pemerintah telah melakukan berbagai macam cara. Salah satu cara yang yang dipilih oleh pemerintah saat ini adalah memberikan predikat teroris bagi Organisasi Papua Merdeka-Kelompok Kriminal Bersenjata (OPM-KKB) yang selama ini melawan pemerintah dengan senjata. Pemberian predikat teroris bagi OPM-KKB diumumkan oleh Menko Polhukam, Mahfud MD pada Kamis, 24 April 2021.

Pemerintah menganggap bahwa organisasi dan orang-orang di Papua yang melakukan kekerasan masif dikategorikan sebagai teroris. Hal itu sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018. Demikian penjelasan Mahfud yang disampaikan pada konferensi pres virtual.

“Di mana yang dikatakan teroris itu adalah siapa pun orang yang merencanakan menggerakkan dan mengorganisasikan terorisme. Sedangkan, terorisme adalah setiap perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban secara massal dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis terhadap lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional,” jelas Mahfud.

Secara tegas, Menko Polhukam menjelaskan, bahwa kategori teroris itu merujuk kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

“Dengan motif ideologi, politik dan keamanan. Berdasarkan definisi itu maka apa yang dilakukan KKB dan segala nama organisasinya, dan segala orang-orang yang terafiliasi dengannya adalah tindakan teroris,” sambung mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu.

Dengan diberikannya predikat teroris kepada OPM-KKB, maka untuk memberantas mereka tentu akan berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Perbuatan OPM-KKB yang dikategorikan sebagai perbuatan teror adalah perbuatan sebagaimana yang diatur oleh Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang selengkapnya berbunyi:

Lihat Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati.

Jadi, sangat jelas bahwa suatu perbuatan dapat dikatagorikan sebagai tindak pidana terorisme apabila perbuatan itu menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek Vital yang strategis, lingkungan hidup atau fasilitas Publik atau fasilitas internasional.

Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardhani mengatakan, sejak awal tahun ini KKB kerap melakukan kekerasan secara brutal dan masif di Papua. Korban dari tindakan mereka, yakni masyarakat sipil hingga aparat. Perbuatan KKB itu adalah sebagai berikut:

1. Pembunuhan tukang ojek di Kampung Ilambet, Ilaga Tanggal 9 Februari 2021.

2. Pembacokan perempuan di Kampung Juguloma, Beoga Tanggal 18 Februari 2021

3. Kontak tembak antara Paskhas dengan KKB di Bandara Amingganu Tanggal 19 Februari 2021

4. Pembunuhan 2 orang guru SD dan SMP di Kampung Juguloma pada Tanggal 8-9 April 2021

5. Pembakaran helikopter milik PT. Arsa Air di Bandara Aminggaru, Ilaga Tanggal 11 April 2021

6. Pembakaran rumah Kepala Sekolah SMP dan anggota DPRD di Kampung Juguloma, Beoga Tanggal 13 April 2021

7. Penembakan Kabinda Papua Tanggal 25 April 2021

Dari data tersebut, jelas tidak ada satupun dari perbuatan OPM itu yang memenuhi persyaratan untuk disebut sebagai Perbuatan Tindak Pidana Teroris sebagaimana yang diatur pada pasal 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Perbuatan OPM yang dijelaskan oleh Deputi V KSP Jaleswari Pramodhawardhani tidak ada satupun yang menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.

Lalu apa yang akan dilakukan bila perbuatan mereka tidak memenuhi unsur-unsur sebagai tindak pidana terorisme? Dapatkah para anggota OPM ditangkap sebagai teroris walaupun persyaratan sebagai perbuatan teror tidak terpenuhi?. Maka menurut hemat penulis, menerapkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme secara serampangan tentunya [berpotensi] akan dapat menghasilkan masalah baru.

Aturan lain yang dapat digunakan untuk menjerat OPM-KKB yaitu pasal 108 KUHP. Selengkapnya pasal 108 KUHP berbunyi :

(1) Barang siapa bersalah karena pemberontakan, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun:

1. Orang yang melawan pemerintah Indonesia dengan senjata;

2. Orang yang dengan maksud melawan Pemerintah Indonesia menyerbu bersama-sama atau menggabungkan diri pada gerombolan yang melawan Pemerintah dengan senjata.

(2) Para pemimpin dan para pengatur pemberontakan diancam dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

OPM sejak 1963 sudah dikenal sebagai Pemberontak Bersenjata yang melawan pemerintah untuk melepaskan diri dari NKRI. Dengan adanya pasal 108 KUHP ini, maka siapa saja yang melawan pemerintah dengan menggunakan senjata dapat dijerat dengan pasal 108 KUHP. Untuk para Pemberontak Bersenjata dapat dilaksanakan penegakan hukum berdasarkan KUHP atau Operasi Militer Selain Perang berdasarkan pasal 7 ayat 2 huruf b angka 2 Undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI.

Penerapan pasal 108 KUHP ini sebenarnya sangat simpel. Hanya dibutuhkan pengumuman bahwa bahwa pembunuhan yang terjadi selama ini dilakukan oleh para pemberontak bersenjata yang melawan pemerintah. Selesai. Untuk selanjutnya, para pemberontak itu diburu dengan tuduhan melawan pemerintah Indonesia dengan senjata.

Akan tetapi, pemerintah lebih memilih menggunakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme untuk memberantas perlawanan OPM.

Rakyat Indonesia tentunya berharap agar penerapan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam upaya menciptakan perdamaian di Papua dapat berhasil dengan baik dengan tidak menghasilkan masalah baru.

*Pemerhati Keamanan dan Terorisme. Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI