Home Hukum Upaya Pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi Makin Gamblang

Upaya Pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi Makin Gamblang

Kendal, Gatra.com – Koordinator Pengabdi Bantuan Hukum Jaringan Kerja Relawan untuk Demokrasi, Keadilan, dan HAM (PBH-JAKERHAM), Adi Prasetyo, menyampaikan bahwa hingga saat ini upaya untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah semakin gamblang.

Upaya pelemahan terhadap lembaga antirasuah ini pernah menimbulkan gelombang penolakan dari mahasiswa dan rakyat. Mereka menolak rencana revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Adi Mengatakan, DPR yang diharapkan banyak pihak bisa membatalkan itu, malah bersikap sebaliknya. DPR justru membahas dalam rapat tertutup dan tergesa-gesa tanpa melakukan publik hearing dengan masyarakat, akademisi maupun dengan praktisi. 

"Anggota DPR pun terbelah, tujuh fraksi menerima tanpa catatan, dua fraksi tidak setuju, dan satu fraksi belum memberikan pendapat. Dengan komposisi seperti itu, rapat paripurna ketok palu mengesahkanya 17 September 2019," kata Adi Prasetyo kepada Gatra.com, Minggu (9/5).

Maka, lanjutnya, berubahlah RUU itu menjadi UU harapan terakhir yang sontak membuat mahasiswa pada tanggal 24-26 September 2019 bersama aktivis antikorupsi dan rakyat berdemontrasi hampir merata di Indonesa. Mereka berharap pada Pemerintah Presiden Joko widodo (Jokowi) untuk menyelesaikan kegaduhan KPK dengan DPR agar Pesiden mengeluarkan Perpu, akan tetapi harapan rakyat gagal dan hampa karena Presiden Jokowi tidak menerbitkannya.  

"UU No. 19 Tahun 2019 Perubahan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi kini memasuki babak baru. Saya memberikan analisa bahwa UU KPK baru tersebut tidak hanya mengubah postur kelembagaan KPK, tapi faktanya juga mengubah cara kerja KPK karena dipangkas kewenangan dan dialihan status kepegawaianya," ujar dia.

Menurutnya, jika membaca tujuh poin dalam UU baru, Pertama; penegasan kedudukan KPK sebagai lembaga eksekutif sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 angka 3. Kedua, dibentuknya Dewan Pengawas seperti termaktub dalam pasal 37A. Ketiga, KPK meminta izin kepada Dewan Pengawas dalam penyadapan. Ini termaktub dalam Pasal 12B, Pasal 12C, Pasal 37B, dan Pasal 47.

Keempat, Pasal 40, KPK dapat menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Kelima, koordinasi kelembagaan KPK dengan penegak hukum sesuai dengan hukum acara pidana, kepolisian, kejaksaan, dan kementerian atau lembaga lainnya dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi.

Keenam, penggeledahan dan penyitaan harus seizin Dewan Pengawas. Ketujuh, status pegawai tetap akan berubah menjadi aparat sipil negara. "Apakah esensinya dalam UU KPK yang baru," kata Adi.

Menurutnya, jika KPK dijadikan sebagai lembaga eksekutif, esensinya sama saja KPK yang sebelumnya merupakan lembaga negara yang bersifat independen tanpa intervensi lembaga eksekutif, dalam UU No.19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dapat difinisikan bahwa KPK secara hierarki menjadi kelembagaan berada di bawah Presiden.

Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di bidang eksekutif. Karena KPK merupakan lembaga yang berada di bawah Presiden, maka Presiden berhak melakukan pengawasan melalui wakil-wakilnya yang ditempatkan di Dewan Pengawas.

"Dalam konteks ini, Dewan Pengawas merupakan ancaman bagi independensi KPK. Apakah reaksi yang terjadi, kita dapat melihat terdapat 37 Pegawai KPK mengundurkan [diri] ditahun 2020," ungkapnya.

Banyak pakar menilai bahwa ketika KPK berada di bawah Presiden, maka Presiden berhak melakukan pengawasan melalui wakil-wakilnya yang ditempatkan di Dewan Pengawas yang banyak dinilai sebagai ancaman bagi independensi KPK dalam melakukan tugas pemberantasan korupsi.

"Apakah Dewan Pengawas yang dimaksud dalam UU KPK yang baru tentunya berbeda dengan Dewan Pengawas di lembaga negara pada umumnya," ujar dia. 

Tugas Dewas selain memberikan tugas pengawasan dan tugas eksekutif, yang selama ini menjadi kewenangan pimpinan KPK. Hal ini merujuk pada Pasal 37B nomor 1 poin a dan b UU baru KPK berbunyi, Dewan Pengawas bertugas: a. mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi; b. memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan.

"Tugas memberikan izin ini menurut analisa saya tidak lazim dimiliki oleh sebuah lembaga pengawasan. Apalagi bagi lembaga KPK sebelum dilakukan revisi UU KPK karea sifat kepemimpinannya adalah kolektif kolegial, bukan struktural," terangnya.

Adi juga menanyakan tentang konsekuensi lain atas dimasukkannya KPK ke dalam badan eksekutif pada pegawai KPK itu sendiri. Karena dalam UU No.19 Tahun 2019 tentang KPK yang menjadi embaga eksekutif, maka pegawainya berubah menjadi aparatur sipil negara (ASN). Pasal 1 Ayat 6 UU baru itu berbunyi: Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah aparatur sipil negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan aparatur sipil negara.

Sebagai ASN, katanya, memiliki atasan lain di luar kelembagaan KPK, yaitu Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia (Menpan RB). Menteri ini dapat melakukan kontrol terhadap pegawai KPK, dan bahkan dapat memberhentikannya jika dianggap tidak mematuhi kebijakan atau kemauan Menpan RB, termasuk melakukan pengujian layak dan tidaknya pegawai. Berubahnya status pegawai KPK tetunya juga akan memposisikan KPK menjadi birokrat. 

"Kita dapat meihat bersama gerak pegawai KPK yang selama ini gesit dan responsif memberantas korupsi akan berubah layaknya seorang birokrat. Kritisisme dan independensi yang selama ini menjadi ciri pegawai KPK, tentunya juga menjadi catatan tersendiri. Sekarang dapat kita bayangan apakah dengan diubahnya lembaga tentunya cara dan kerja akan semakin kuat," ucapnya.

Pertanyaannya, siapakah yang berusaha melemahkan KPK? DPR apa Presiden juga harus ditanya karena faktanya, DPR dalam pembahasan RUU KPK melakukannya begitu cepat.

Sementara itu, Presiden juga meneken Peraturan Pemerintah tanpa mendengar demontrasi yang hampir terjadi di seluruh Indonesia. "Nah siapakah sebenarnya yang melemahkan KPK?" sebutnya. 

Presiden Jokowi berkali-kali menegaskan bahwa ia tidak rela KPK dilemahkan.Tujuan revisi UU KPK dikatakan Jokowi bukan untuk melemahkan, melainkan untuk menguatkan.

"Penguatan seperti apa yang dimaksud Jokowi jika untuk melakukan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan, pimpinan KPK harus seizin Dewan Pengawas?" ujarnya.

Kemudian, hierarki kelembagaan KPK dipertegas di bawah kekuasaan eksekutif dan pegawainya dikontrol dengan status ASN. Apakah dengan dialihkanya status pegawai menjadi ASN lantas dapat disebut sebagai penguatan KPK secara kelembagaan, tetapi kendali ASN ada pada Dewan Pengawas yang dipilih oleh Presiden.

"Untuk melakukan pengawasan, penggeledahan, dan penyitaan harus seizin Dewan Pengawas, maka jelas secara kasat mata bahwa Presiden memegang kendali penuh atas kerja KPK," ujarnya.

Presiden memegang kendali, misalnya dalam pelaksanaan bila nanti KPK mengendus adanya praktik korupsi di satu kementerian, akan sangat sulit mendapatkan izin untuk melakukan penyadapan dari Dewan Pengawas. Sebab sebagai wakilnya di KPK, orang yang akan duduk di Dewan Pengawas pastinya akan meminta izin Presiden terlebih dahulu.

Dengan alur seperti ini, kata Adi, dapat dipahami kenapa inisiatif revisi UU KPK muncul dari partai-partai di koalisi pendukung Jokowi. Kenapa pula pembahasan revisi UU ini hanya memakan waktu 13 hari sejak dimunculkan jadi pembahasan inisiatif DPR.

Adi menyampaikan, jawaban dari semua itu adalah revisi UU KPK dan perubahan status pegawai menjadi ASN menguntungkan Presiden. Dengan UU baru ini, Presiden dapat memanggil Dewan Pengawas untuk memperoleh Informasi tentang adanya dugaan lembaganya diduga melakukan tindak pidana korupsi, atau dengan kata lain, memungkinkan Presiden dapat melakukan intervensi terhadap kerja KPK, masa depan pemberantasan korupsi berada di tangan Presiden. 

"Mungkinkah kasus-kasus besar akan diungkap di atas kebijakan UU KPK baru pasltilah akan melalui Dewan Pengawas dan sudah seizin Presiden ditambah bocornya sejumlah 75 Pegawai KPK Gagal Tes Alih Status menjadi ASN, termasuk penyidiksenior KPK Novel Bawesdan yang berhasil mengungkap kasus-kasus korupsi kelas kakap," tanya Adi.

1712