Home Internasional Ini Alasan Israel Kembali Serang Palestina Versi Peneliti

Ini Alasan Israel Kembali Serang Palestina Versi Peneliti

Jakarta, Gatra.com – Salah seorang peneliti dari Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), M. Hamdan Basyar, mengungkapkan alasan Israel kembali menyerang Palestina.

Hamdan dalam webinar gelaran LIPI bertajuk “Israel-Palestina Memanas: Bagaimana Memahami Keberlanjutan Krisis dan Peran Indonesia?” pada Rabu (19/5), mengungkapkan, penyerang terhadap Palestina karena dalam 2 tahun terakhir (2019-2021), akibat masalah politik dalam negeri Israel. Dalam periode tersebut, pemilihan umum atau pemilu legislatif di sana digelar sebanyak 4 kali.

“Negara penganut sistem parlementer, kalau sudah 4 kali pemilu, berarti ada satu masalah dalam negeri yang cukup rumit, sehingga berulang-ulang mengadakan pemilu. Sebenarnya secara konstitusi mereka, itu mereka adalah per 4 tahun ada pemilu parlemen atau kadang-kadang kalau ada masalah bisa 3 tahun,” ujarnya.

Hamdan mengatakan, pada tahun 2015 lalu, Israel telah menggelar pemilu, kemudian tahun 2019. Bahkan, di tahun 2019 itu malah 2 kali diselenggarakan, karena adanya masalah. Tahun lalu, 2020, pun ada pemilu lagi dan baru-baru ini juga tampak pemilu lagi.

Setelah pemilu 9 April 2019, Perdana Menteri yang berkuasa, Benjamin Netanyahu telah gagal membentuk pemerintahan koalisi. Ini merupakan kegagalan pertama dalam sejarah Israel.

Setelah itu, pada 30 Mei 2019, Parlemen Israel atau Knesset membubarkan diri dan menetapkan pemilu dipercepat pada September tahun itu. Cara ini dipilih oleh Netanyahu dan Partai Likud untuk mencegah pemimpin Partai Biru dan Putih (Blue and White), Benny Gantz yang akan diangkat menjadi Perdana Menteri.

“Kenapa cara ini dipilih? Karena Netanyahu ingin tetap berkuasa. Kalau sesuai aturan mereka, seandainya Netanyahu enggak bisa membentuk pemerintahan, partai kedua yaitu di bawah Benny Gantz, Blue and White, akan diminta oleh Presiden Israel yaitu Reuven Rivlin untuk mencoba membuat kabinet. Tapi karena akal-akalan Netanyahu, itu pun akhirnya dibubarkan Knessetnya,” tutur Hamdan.

Ia menambahkan, pemilu pada 17 September 2019 lalu hasilnya juga sama dan pemilu digelar lagi di tahun 2020. Partai Likud kemudian bersepakat untuk membuat koalisi dengan Partai Blue and White untuk berbagi kekuasaan.Perdana menteri dijabat secara bergiliran, masing-masing selama 18 bulan.

Hamdan melanjutkan, Benjamin Netanyahu dari Partai Likud menjabat Perdana Menteri lagi sejak dilantik pada 17 Mei 2020 lalu untuk 18 bulan ke depan. Akan tetapi, belum 18 bulan atau tepatnya belum setahun, Netanyahu justru telah membubarkan kesepakatan dengan Partai Biru dan Putih serta membuat pemilu lagi.

"Tujuannya jelas, supaya tidak kebagian Benny Gantz itu. Karena kalau sampai 18 bulan dari Mei ini, maka kesempatan diberikan kepada Benny Gantz dari Partai Blue and White. Di sini terlihat bagaimana Netanyahu bersikukuh untuk terus berkuasa di Israel,” ujarnya.

Beralih ke pemilu 2021, ujar Hamdan, ternyata hasilnya juga mengecewakan Netanyahu, seusai mendepak Benny Gantz untuk tidak menjadi perdana menteri, walau kesepakatan itu telah disetujui namun kemudian digagalkan. Oleh karena itu, hasil pemilu yang sekarang, 2021, Netanyahu kembali berfikir dan membutuhkan usaha yang keras untuk membentuk pemerintahan.

Selain itu, Netanyahu menghadapi suatu masalah, yaitu tuduhan korupsi yang saat ini sedang disidangkan di pengadilan di Israel. “Nah, oleh karena itu, Netanyahu butuh sesuatu kejadian di mana dia akan memperoleh dukungan secara domestik politik, juga internasional, terutama di daerah Amerika," ujarnya.

Ia menambahkan, karena bila gagal memperoleh dukungan, hasil pemilu 2021 akan memberikan kesempatan kepada Pemimpin Partai Yesh Atid, Yair Lapid, untuk membentuk pemerintahan.

953