Home Gaya Hidup Akademisi: Seni Tetap Subur di Tengah Rezim Otoriter

Akademisi: Seni Tetap Subur di Tengah Rezim Otoriter

Jakarta, Gatra.com– Ada pihak yang memandang bahwa seni bisa tumbuh subur ketika demokrasi, sebagai salah satu syarat idealnya, telah tercukupi. Akan tetapi, akademisi yang juga seorang komposer musik, Soe Tjen Marching, tidak sepaham dengan gagasan itu.

“Seni tetap hidup dan berkembang dalam masa otoriter yang paling dahsyat sekalipun. [Di rezim otoriter] seni justru digunakan sebagai alat pendukung kekuasaan. Kekuatan seni digunakan oleh para penguasa,” ujar Soe dalam webinar bertajuk “Gambar dalam Perspektif Popular Democratic” yang digelar pada Sabtu, (22/5).

Dalam pemaparannya, Soe membeberkan penggunaan musik bagi elit-elit penguasa sepanjang sejarah dunia. Raja Darius yang memerintah kerajaan Persia dari tahun 550-486 SM punya antusiasme yang besar pada kesenian, terutama yang berhubungan dengan visual, seperti arsitektur, seni pahat, dan monumen.

Raja Darius melibatkan banyak seniman untuk membangun berbagai monumen dan bangunan, termasuk Persepolis. Ia bahkan mempekerjakan banyak seniman untuk mengukir pesan-pesan tertentu dalam bangunan arsiterkturnya.

Di Perancis, pada masa Louis XVI di abad ke-18, seni juga berkembang pesat, terutama seni yang mengagungkan kemegahan raja. Pada masa itu bahkan terjadi perkembangan seni yang sangat berpengaruh pada desain, arsitektur, dan bentuk-bentuk seni lainnya di masa-masa selanjutnya, seperti gaya arsitektur Rokoko dan gerakan seni Neoklasisme.

Di Jerman, Hitler menggunakan seni untuk mengokohkan kekuasaannya. Pada masa pemerintahan Nazi, seni bernuansa Romawi dan Yunani klasik dianggap sebagai aliran yang ideal karena mengagungkan nilai-nilai romantisme dan kepahlawanan. Hitler membayar banyak seniman untuk menggarap poster-poster yang mempromosikan simbol-simbol propaganda Nazi.

Propaganda Nazi menampilkan sosok pemimpin-pemimpin Nazi dengan penuh keagungan dan kepahlawanan. Sementara musuh-musuh mereka digambarkan sebagai makhluk buruk, culas, dan bahkan setengah manusia.

Di Indonesia, seni tetap tumbuh subur selama masa Orde Baru berlangsung. Soe mencatat bahwa kala itu terdapat kucuran dana besar dari Congress for Cultural Freedom asal Amerika Serikat untuk kegiatan seni di Indonesia. Dengan bantuan finansial tersebut, ia menyebut bahwa banyak film, komik, dan buku yang muncul di era itu.

“[Akan tetapi] tentu saja karya-karya yang muncul kebanyakan tak menyinggung kekuasaan atau terang-terangan anti Komunis atau anti idelogi kiri. Salah satu contoh paling terkenal adalah film Pengkhianatan G30S/PKI,” ujar Soe.

Soe menyimpulkan bahwa penguasa-penguasa otoriter sejatinya sangat sadar akan kekuatan seni. Dengan demikian, dengan atau tanpa demokrasi, seni bisa tetap tumbuh subur.

140