Home Gaya Hidup Review Musikal In the Heights: Impian Terindah adalah Pulang ke Rumah

Review Musikal In the Heights: Impian Terindah adalah Pulang ke Rumah

Jakarta, Gatra.comIn the Heights siap menghiasi layar lebar Indonesia mulai hari ini, 9 Juni 2021. Film yang dibesut oleh sutradara Crazy Rich Asians, John M. Chu ini bergenre drama musikal dengan dominasi musik Latin yang riang di tengah jalan cerita yang penuh haru.

Berlatar tempat di Washington Heights di New York City, Amerika Serikat. Film yang diambil dari skenario buatan Quiara Alegría Hudes ini bertumpu pada satu tema sebagai benang merahnya: sueñito atau impian kecil.

Salah satu adegan di film 'In the Heights' (Dok. Warner Bros. Pictures/fly)

Usnavi de la Vega (diperankan oleh Anthony Ramos), seorang penjaga bodega yang ia jalankan bersama sepupunya, Sonny (Gregory Diaz IV), memimpikan kepulangan ke negara asal mereka di Republik Dominika. Selain karena rindu kampung halaman, ia juga ingin membangun sekaligus mengelola kembali bar milik ayahnya yang telah rata dengan tanah diterpa badai. “Hari-hari terbaikku ada di sana,” tuturnya dalam sebuah adegan.

Usnavi juga berperan seakan-akan mengatur ritme muncul dan berhentinya musik salsa khas Latin dengan paduan R&B, hip-hop, dan pop sepanjang film. Lagu dan lirik dari musik-musik tersebut digarap oleh Lin-Manuel Miranda—yang ikut berperan sebagai Piragüero dalam film ini—yang membayangkan variasi musik yang mungkin orang dengar ketika berkunjung ke Washington Heights. Memang, selama film berjalan, lagu-lagu gembira saut-menyaut hampir tiada henti, seakan-akan mencerminkan keriangan pemukim Heights yang juga tiada habisnya.

Sebaliknya, Nina Rosario (Leslie Grace) justru mengidam-idamkan kepulangan ke Washington Heights, pemukiman orang-orang Latin-Amerika di mana ia dibesarkan, dan menjalani kehidupan bahagia di ‘rumah’-nya itu. Alasan yang mendasari keinginan mahasiswi Stanford University tersebut untuk pulang adalah karena ia tak merasa kerasan di tempatnya menimba ilmu, California.

Salah satu adegan di film 'In the Heights' (Dok. Warner Bros. Pictures/fly)

Padahal, di Washington Heights, Nina dipuja-puji sebagai anak yang cerdas. Statusnya sebagai mahasiswa di Stanford menjadi kebanggaan pemukim kampung halamannya itu. Para pemukim tersebut jelas sangat mendorongnya untuk bertahan di California demi menggapai kesuksesan cemerlang di masa depan.

Hanya saja, Nina menganggap bahwa ketenangan pikiran jauh lebih penting ketimbang gelimang kesuksesan akademiknya. Selama merantau, ia mengaku kehilangan arah. Ia merasa terasing dan kesepian, barangkali disebabkan oleh identitasnya sebagai seorang keturunan Latin-Amerika di tengah-tengah California.

“Tak ada kebersamaan di tempatku belajar,” ujarnya dalam sebuah adegan, seakan-akan kebersamaan yang didambakannya hanya terdapat di Washington Heights saja.

Salah satu adegan di film 'In the Heights' (Dok. Warner Bros. Pictures/fly)

Apabila ditilik lebih jauh lagi, konflik batin yang dialami oleh Nina tersebut bisa dilihat sebagai ujung gunung es. Yang muncul ke permukaan hanyalah kekalutan psikologisnya. Bukan tak mungkin jauh di dalamnya terdapat luka gesekan sentimen politik identitas yang bisa menjadi penyebab ia merasa kurang nyaman selama di California.

In the Heights sebetulnya mencoba menunjukkan latar belakang politik tersebut. Hanya saja, yang ditampilkan ke permukaan tidak begitu banyak. Unsur-unsur politik tersebut semacam disengaja ditaruh di belakang dengan tujuan agar penonton tak terdistraksi dengan isu-isu bising itu. Film ini ingin memfokuskan penikmatnya pada kehangatan, keharuan, dan—yang paling penting—keringanan cerita secara keseluruhan.

Saking ringannya, impian kecil Nina untuk pulang ke kampung halamannya bisa dilihat sebagai kerinduan klasik yang tampaknya dialami oleh setiap perantau di muka bumi. Kalau diterjemahkan ke bahasa yang lebih sederhana, impian tersebut ekuivalen dengan makna “homesick”.

Salah satu adegan di film 'In the Heights' (Dok. Warner Bros. Pictures/fly)

Dengan makna tersebut, film yang diproduseri oleh Miranda, Hudes, Scott Sanders, Anthony Bregman, dan Mara Jacobs tersebut bisa menggaet audiens yang jauh lebih luas dan universal, tak terkecuali penikmat film di Indonesia. Homesick merupakan tema yang pas bagi perantau dari berbagai kultur yang rindu kampung halaman atau berencana menghabiskan masa tua di sana ketika telah jengah usai menghabiskan usia produktif di kota.

Di kampung halaman, kerinduan semacam itu bisa terpenuhi. Di Washington Heights, setiap kesedihan diikuti musik salsa yang riang. Konflik demi konflik disudahi oleh musik yang sama riangnya. Selama listrik padam pun bahkan musik tak boleh berhenti berkumandang. Di sanalah sueñito terwujud. Kehangatan ‘rumah’ adalah impian kecil terindah.

Salah satu adegan di film 'In the Heights' (Dok. Warner Bros. Pictures/fly)

Lin-Manuel Miranda menulis draft awal In the Heights pada 1999 lalu. Naskah ini lantas diwujudkan menjadi show teater 80 menit pada 2000, dengan tambahan freestyle rap sehingga mengubahnya menjadi semacam versi hip-hop dari musikal Rent. Ketika akhirnya In the Heights menembus panggung Broadway, Miranda didapuk memerankan tokoh utama Usnavi. Namun dia menolak menjadi karakter yang sama ketika In the Heights digarap ke layar lebar.

Miranda menjadi nama besar dari Broadway setelah Hamilton miliknya hadir pada 2015 lalu. Pertunjukan multi-layer dengan musik dan lirik apik, yang membuat show ini diganjar anugerah Pulitzer kategori Drama. Lapisan intrik politik yang kental di Hamilton hadir secara lebih ringan pada In the Heights. Keputusan yang tepat karena bisa menjangkau audiens lebih luas. Mengingat cerita Hamilton yang sangat panjang dan hanya mudah dipahami bagi mereka yang belajar sejarah pendirian Amerika Serikat. Keduanya juga sama-sama menyorot keragaman suku dan warna kulit dari para karakternya. 

504