Home Ekonomi Pemerintah Prioritaskan Sektor yang Utamakan Aspek Berkelanjutan

Pemerintah Prioritaskan Sektor yang Utamakan Aspek Berkelanjutan

Jakarta, Gatra.com– Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan pemerintah telah memprioritaskan sektor yang mengutamakan aspek berkelanjutan untuk memastikan transformasi ekonomi dan pembangunan berkelanjutan agar tetap berjalan di tengah upaya pemulihan ekonomi. “Salah satu contoh adalah mempromosikan pembangunan energi terbarukan seperti kebijakan mandatori B30 [program mandatori pencampuran biodiesel 30 persen], pemanfaatan panas bumi dan tenaga surya,” tuturnya, lewat rekaman pidatonya yang diputar via Zoom dalam webinar bertajuk “Keuangan Berkelanjutan dalam Pemulihan Ekonomi Nasional yang digelar oleh Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) pada Selasa, (15/6) dan disiarkan langsung melalui kanal YouTube lppi_id.

Contoh lain, ujar Airlangga, yaitu pertanian kelapa sawit berkelanjutan, ecotourism atau ekowisata, pengembangan mobil berbasis listrik serta pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) berwawasan lingkungan. Hal tersebut sesuai dengan komitmen pemerintah terhadap Paris Agreement atau Persetujuan Paris, di mana pembangunan berbasis rendah karbon terus diupayakan melalui penurunan jumlah dan intensitas emisi pada bidang prioritas yang meliputi energi, lahan, limbah industri dan kelautan.

Sementara itu, lanjutnya, lewat Nationally Determined Contributions (NDCs), Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen di tahun 2030 dari kondisi Business As Usual (BAU). Upaya inovatif yang telah diinisiasi oleh pemerintah untuk mewujudkan hal tersebut, antara lain melalui uji coba Emission Trading System (ETS) atau perdagangan karbon dan sektor ketenagalistrikan. Khususnya, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang telah diluncurkan pada tanggal 17 Maret 2021. Uji coba ETS ini diperlukan guna mendorong efisiensi PLTU serta menurunkan emisi karbon. “Upaya ini menunjukkan kesiapan Indonesia untuk pengembangan perdagangan karbon, baik di domestik maupun internasional,” terang Airlangga.

Kemudian ia menjelaskan, bahwa Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang telah disahkan pemerintah, telah menyempurnakan lebih dari 80 UU untuk mendorong Ease of Doing Business (EoDB) atau kemudahan berusaha dan tetap mengedepankan aspek keberlanjutan atau kelestarian lingkungan. Khusus untuk lingkungan hidup dan kehutanan, sambung Airlangga, terdapat 3 Undang-Undang yang disempurnakan, yaitu Undang-Undang 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan Undang-Undang 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. “Regulasi yang ada pada ketiga UU tersebut disempurnakan untuk mencapai kemudahan ekosistem berusaha, tanpa mengesampingkan standard nilai-nilai keselamatan, keamanan dan kelestarian lingkungan,” jelasnya.

“Konsepsi kegiatan berusaha berbasis pada resiko, di mana lingkungan hidup menjadi salah satu pertimbangan utama. Jika suatu usaha memiliki resiko tinggi terhadap lingkungan, maka usaha tersebut harus memiliki ijin usaha dan memenuhi segala persyaratan standard lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Jika usaha beresiko sedang atau rendah, cukup dengan sertifikat atau dengan Nomer Induk Berusaha [NIB],” imbuh Airlangga.

74