Home Ekonomi DFW Indonesia Jelaskan Penyebab Sulitnya Asuransi Nelayan

DFW Indonesia Jelaskan Penyebab Sulitnya Asuransi Nelayan

Jakarta, Gatra.com – Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia mencatat terdapat 42 insiden kecelakaan kapal nelayan atau kapal ikan terjadi di Indonesia sepanjang Desember 2020-Juni 2021. Dari insiden ini, terdapat korban hilang, meninggal dunia, dan luka.

Dalam keterangan tertulis dari DFW Indonesia yang diterima pada Senin (21/6), insiden ini menjadi gambaran bahwa nelayan mengalami kerentanan yang tinggi ketika mencari nafkah. Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Suhufan, menyebutkan bahwa nelayan bekerja tanpa perlindungan diri, minim sarana kesehatan, dan beberapa tidak memiliki asuransi.

Abdi menyebutkan bahwa sulitnya nelayan mengakses asuransi karena sosialisasinya tidak merata atau hanya ada di pelabuhan besar. Dalam hal ini, masyarakat yang tinggal di terpencil tidak mengetahui hal yang berkaitan dengan asuransi.

"Di pulau terluar itu tidak tahu sama sekali bagaimana cara mendaftar, bagaimana cara prosedurnya mengakses, dengan siapa mereka berhubungan," ujar Abdi melalui sambungan telepon pada Senin (21/06).

Hal itu bukan terjadi di wilayah remot saja. Menurut Abdi, masih terdapat daerah di Pulau Jawa yang nelayannya belum mengetahui tentang prosedur, mekanisme serta manfaat mengikuti asuransi tenaga kerja.

Abdi menjelaskan bahwa BPJS tenaga kerja merupakan jalur asuransi yang mudah dengan premi yang murah. Namun menurutnya, BPJS Ketenagakerjaan belum jemput bola atau mendatangi nelayan sehingga nelayan tidak mengetahui skema asuransi untuk tenaga kerja.

"BPJS itu belum menjemput bola ke kantong-kantong nelayan, mungkin karena mereka ini dianggap mereka [nelayan] ini penerima upah atau pekerja informal belum menjadi prioritas bagi BPJS Ketenagakerjaan," ucap Abdi.

Menurut Abdi, pemerintah perlu proaktif melakukan kerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan untuk mengadakan acara di desa atau kampung nelayan. Selain dengan BPJS Ketenagakerjaan, kerja sama dengan nelayan atau serikat awak kapal perikanan juga perlu dilakukan agar asuransi lebih diketahui oleh masyarakat.

Selain meningkatkan sosialisasi, menurut Abdi, penempatan penyuluh atau staff dari BPJS di kantor desa atau kantor himpunan nelayan di kantong-kantong nelayan juga juga dilakukan untuk mendekatkan pelayanan. Hal itu dilakukan agar masyarakat atau nelayan mengetahui hal yang berkaitan dengan asuransi, seperti syarat-syaratnya.

 Abdi juga menyebutkan bahwa penyebab lain dari sulitnya nelayan mengakses asuransi karena administrasi kependudukan. Menurutnya, di Kartu Tanda Penduduk (KTP) profesi nelayanan tidak tercantum sehingga tidak diterima ketika mengurus asuransi.

439