Home Gaya Hidup Setelah Dihancurkan Covid 19, Pemulihan PTM Tidak Mudah

Setelah Dihancurkan Covid 19, Pemulihan PTM Tidak Mudah

Medan, Gatra.com- Anwar Suhut dan stafnya Nelly Marbun menelusuri gang kecil di salah satu ruas jalan di kawasan Belawan Medan. Memasuki salah satu rumah sangat sederhana milik warga. Anwar menemui sekumpulan anak - anak yang baru saja menjalani sholat di salah satu masjid di sekitar pemukiman padat dan kumuh tersebut. Anak - anak remaja yang harus mengikuti pembelajaran jarak jauh melalui virtual karena tidak dapat mengikuti Pembelajaran Tatap Muka (PTM) akibat pandemi covid 19.

Kedatangan Anwar dan Nelly pun disambut dengan senyum oleh anak - anak remaja itu. Pertemuan Anwar dan anak-anak itu terlihat sangat akrab, bertegur sapa selayaknya kakak dan adik. Kakak pembina yang dekat dengan komunitas anak - anak yang hidup bermukim di pinggir laut Belawan. Untuk anak - anak yang hidup sehari-hari dengan pasang surutnya air laut. Serta anak - anak yang hari demi hari dengan serba kekurangan, baik dari segi ekonomi maupun dampingan sosial.

Anwar dan Nelly merupakan aktivis dari Yayasan Gugah Nurani Indonesia (GNI). Menemui anak - anak dan bertegur sapa merupakan kegiatan sehari-hari dalam aktivitas mereka. Setelah berdiskusi dan mendengarkan berbagai keseharian anak - anak tersebut, Anwar pun mengajak wartawan GATRA.com menuju salah satu tongkrongan untuk menikmati secangkir kopi. Sembari menyeruput kopi, Anwar menceritakan bahwa anak - anak tersebut harus di dampingi agar menjauh dari kebiasaan buruk masyarakat.

Anak - anak tersebut harus tetap belajar sekalipun dihadapkan pada masa sulit seperti pandemi covid 19. Anwar mengatakan bahwa anak - anak itu harus didampingi lebih ketat. Karena anak-anak itu bermukim dilingkungan masyarakat yang tidak ramah anak. Kehidupan yang kerap tauran, menikah muda, kasus perceraian orang tua, dan kasus - kasus sosial lainnya. Karena itu, sekalipun ada sebutan belajar dari rumah, anak - anak tersebut harus lebih maksimal diperhatikan.

"Itu kehidupan di sini, ada anak yang meninggal karena ikut - ikutan dengan kebiasaan buruk orang dewasa. Ada yang kehilangan masa remajanya karena terpengaruh menikah muda, ada anak yang terjerumus ke narkoba karena tidak ada pendampingan. Karena itu anak - anak asuhan kami tidak boleh terjerumus ke hal buruk itu. Khususnya di masa pandemi Covid 19," ujar Anwar.

Bagi Anwar belajar di rumah juga sangat sulit bagi untuk diikuti anak-anak itu. Kasus yang ditemukan Anwar, anak didik tidak memahami dengan baik apa yang dipelajarinya. Ada juga anak tidak memiliki fasilitas seperti handphone untuk digunakan belajar, sebaliknya ada yang justru menggunakannya untuk bermain game online.

Semua menjadi beban besar bagi dunia pendidikan. Survey yang dilakukan Yayasan GNI selama setahun mengikuti program Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) di Medan dan Deli Serdang menemukan ada yang tidak belajar lebih dari 14 hari dalam sebulan. Survey ini dilakukan pada bulan Februari 2021 dan melibatkan 200 anak yang didukung GNI dari tingkat SD, SMP dan SMA. Dari 87% anak yang tidak selalu belajar setiap hari, sebanyak 50% atau 174 anak, tidak belajar lebih dari 14 hari dalam sebulan. Artinya anak-anak ini mengikuti PJJ hanya selama 10 hari dalam sebulan.

Kondisi anak tidak belajar setiap hari awal tahun 2021 ini, bahkan lebih buruk dibanding dengan temuan GNI yang dilakukan pada September 2020 yang lalu. Dari 125 anak yang mengikuti PJJ tahun lalu, ada 70,40% atau sejumlah 88 orang yang pernah absen. Ternyata semakin lama PJJ ini berlangsung, tingkat partisipasi anak dalam mengikuti belajar tidak lebih baik.

Selama Pandemi Covid-19, guru masih sering memberikan tugas-tugas kepada anak yang membuat mereka bosan untuk belajar. Matode belajar yang satu arah, interaksi yang minim antara siswa dengan guru, dan faktor materi yang tidak menyenangkan bagi siswa, membuat anak-anak ini sangat membosankan untuk mengikuti PJJ.

Nyatanya, PJJ ini telah membuat anak kehilangan banyak kompetensi belajar. Hal itu disebabkan, karena setahun lebih lamanya mereka tidak belajar secara optimal. Sehingga ketika nanti masuk sekolah, dan pemerintah tidak melakukan pemulihan belajar, dikhawatirkan anak akan semakin frustasi.

Menurut Anwar, ancaman terbesar memasuki PTM tahun ajaran baru adalah kesiapan anak untuk kembali duduk di ruang kelas dan mengikuti pola pembelajaran yang sudah lama ditinggalkan. Tentu kesiapan dari aspek Protokol Kesehatan (Prokes) hal utama yang tidak bisa dikesampingkan. Tetapi mengenai kesiapan mental siswa juga harus menjadi pertimbangan prioritas pemerintah, katanya.

Pembukaan sekolah tidak otomatis mengembalikan kemampuan belajar siswa. Namun, pembukaan sekolah bisa menjadi peluang hanya dengan catatan perlu dilakukan intervensi, baik oleh Pemda, dinas pendidikan, atau pihak sekolah. Anwar mencontohkan, bulan Maret 2020 yang lalu sekolah mulai ditutup akibat Pandemi Covid-19, anak tersebut duduk di kelas 3 SD, sehingga bulan Juli tahun 2021 ini anak tersebut sudah akan kelas 5 SD. Selama pandemi setahun lebih dia mengikuti PJJ.

Tentu dengan kondisi PJJ diatas, proses belajarnya sudah pasti bermasalah. Jikalau tahun ajaran baru nanti sekolah benar-benar dibuka, apakah kompetensi si anak itu benar-benar layak naik ke kelas 5 atau mungkin kompetensinya masih di kelas 4 atau mungkin masih setara di kelas 3. Anwar berharap, pemerintah memastikan sekolah untuk melakukan asesmen terhadap kemampuan belajar anak. Sekolah dan pemerintah harus bekerja serius melakukan asesmen yang baik.

224