Home Hukum AJI Indonesia: SKB Pedoman UU ITE Tak Tuntaskan Akar Masalah

AJI Indonesia: SKB Pedoman UU ITE Tak Tuntaskan Akar Masalah

Jakarta, Gatra.com- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menilai Surat Keputusan Bersama (SKB) Pedoman Kriteria Impelementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang telah diteken di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Jakarta, pada Rabu, (23/6) itu tak menyelesaikan akar masalah. 

"Karena dari pasal-pasal yang, "pasal-pasal karet" itu masih, masih apa, berpeluang, berpotensi untuk ini ya, mengkriminalisasi warga negara," terang Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Erick Tanjung, kepada Gatra.com melalui sambungan telepon pada Kamis sore, (24/6).

Lanjutnya, khususnya di "pasal-pasal karet" yang dapat menjerat jurnalis dan media. Misalnya, di Pasal 27 Ayat 3. Meskipun di sana disebutkan di panduan impelementasinya jika untuk sengketa pers soal berita dan jurnalistik itu kewenangannya di UU lex specialis, yakni UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, akan tetapi itu masih berpeluang ketika jurnalisnya mempublikasi di media sosial terkait beritanya.

"Nah ini kan masih, masih ada peluang-peluang mengancam kebebasan pers, mengancam jurnalis ya dalam melakukan kerja-kerja jurnalistiknya. Karena kan jurnalis untuk kepentingan publik, menyampaikan apa, sebuah berita," ujar Erick.

Misalnya, tuturnya, saat jurnalis meliput isu soal kasus korupsi atau seperti yang terbaru, kasus dugaan penyingkiran 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lewat Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), yang didalangi oleh Ketua KPK, Firli Bahuri. 

"Nah, ini kan banyak liputan-liputan mengkritisi dugaan-dugaan apa, dugaan penyalahgunaan wewenang ya dalam apa, TWK itu, untuk menyingkirkan 75 pegawai yang sebetulnya penyidik-penyidik yang kritis ya, penyidik-penyidik yang memang banyak mengungkap kasus-kasus besar," sambung Erick.

Seraya Jurnalis Suara.com ini menambahkan, contoh sederhananya, saat ada liputan kolaborasi IndonesiaLeaks, di mana para jurnalis berkolaborasi, serentak memberitakan sebuah isu serta mereka hendak melakukan investigasi kasus TWK, perdebatan Ketua KPK. Kemudian, ketika mereka ingin memberitakan hal tersebut, tentu mereka membuat poster dahulu untuk judulnya serta untuk menayangkan secara serentak di jam dan hari tertentu. "Nah poster itu ketika diposting di media sosial, itu bisa menjadi ancaman bagi jurnalisnya. Itu sederhananya," imbuh Erick.

209