Home Gaya Hidup Ayik Itam Bukit Suban

Ayik Itam Bukit Suban

Sarolangun, Gatra.com - Bukit Suban. Satu dari Sembilan desa yang ada di Kecamatan Air Hitam Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi ini, tadinya hanya perkampungan 445 kepala keluarga warga transmigrasi kiriman dari Pulau Jawa dan trasmigrasi lokal.

Waktu itu, sekitar tahun 1986, Bukit Suban masih bernama Unit Pelaksana Teknis Satuan Pemukiman (UPT-SP) I Itam Ulu.

Ini program transmigrasi yang menjadi bagian dari Rancangan Pembangunan Lima Tahun tahap tiga (1980-1985) yang dibikin Pemerintah RI. Di Itam Ulu sendiri ditetapkan seluas 13.227 hektar.

Belakangan, desa yang dikomandani oleh Mujito ini sudah menjadi Sembilan dusun dan 49 Rukun Tetangga. Desa ini dihuni oleh sekitar 6000 jiwa.

Di sinilah Suku Anak Dalam (SAD) Ulayat --- tanah leluhur --- Temenggung Tarib, berada. Tadinya mereka masih sekitar 50 kepala keluarga. Tapi sekarang sudah berkembang menjadi lima kali lipatnya, meski SAD tempatan hanya 105 kepala keluarga.

“Tahun ’95 saya sudah di sini, menjadi juru buku Koperasi Karya Tani. Sempatlah tiga tahun. Saya mengurusi penjualan Tandan Buah Segar (TBS) ke Air Molek di Riau. Soalnya waktu itu, di sini belum ada pabrik. Perusahaan PT Sari Aditya Loka (SAL) baru masuk 1987. Habis itu saya jadi Krani TBS 3 tahun pula. Tahun 1997, barulah warga merasakan hasil sawitnya lantaran perusahaan sudah membangun pabrik. Dulu daerah ini masih Kabupaten Sarko, belum Sarolangun,” cerita Mujito saat berbincang dengan Gatra.com di rumahnya, di kawasan jalan poros desa, Sabtu pekan lalu.

Baca juga: Cerita Orang Rimba Bernama Meriau 

Soal SAL tadi, ternyata punya cerita unik pula. Bahwa setelah ada transmigrasi umum tadi, pemerintah lewat Kementerian Pertanian meminta perusahaan membantu 6.600 kepala keluarga untuk menjadi peserta program Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Itulah makanya di Bukit Suban, plasma dulu ada, baru inti.

Tahun 2014 kata ayah dua anak ini, SAD mulai berbaur dengan warga pendatang, waktu itu Mujito sudah jadi Sekretaris Desa (Sekdes). “Saya ikut pelatihan-pelatihan dan kemudian masuk ke SAD dan menjadi pendamping mereka selama 3 tahun,” kenangnya.

Sejak jadi pendamping itulah Mujito mulai merasakan seperti apa mengurusi masyarakat SAD. Awalnya, teramat sulit mengurusi mereka. Tidak mau ikut perkembangan jaman. Misalnya membuat KTP dan KK.

“Lantaran tak mau, saya coba mengakali dengan menjadikan KTP dan KK sebagai syarat untuk mengambil bantuan-bantuan pemerintah. Itupun masih sangat susah juga. Sebab kalau belum mereka tengok bantuan itu, atau belum ada yang dapat, mereka masa bodoh saja,” cerita Mujito.

Lelaki ini kemudian teringat dengan awal mula Bantuan Tunai Langsung (BLT) bergulir. Saking senangnya, dia datangi warga SAD itu sambil membawa kartu BLT itu.

“Ini ada kartu, duitnya besok cair,” ujar Mujito saat sudah sampai di perkampungan SAD itu.

“Apo itu? Kami tak maulah…” salah seorang warga SAD itu menjawab.

Tapi begitu mereka mendengar ada rekannya yang sudah menerima BLT, baru berbondong-bondong datang meminta.

Di lain waktu, adalah sosialisasi rekaman KTP. Lagi-lagi Mujito mendatangi perkampungan SAD itu. “Tolong datang ke desa ya. Soalnya besok-besok, semua bantuan musti pakai yang seperti ini,” kata Mujito sambil menunjukkan contoh KTP.

“Awak idak butuh. Saya idak dapat, idak apa-apa,” begitulah jawaban warga itu.

“Jangan bilang idak dapat idak apa-apa, nanti menyesal,” Mujito mencandai.

Apa yang dibilang Mujito benar saja, warga SAD yang mau membikin KTP, bisa mendapat bantuan. Itulah makanya kemudian warga SAD yang tadinya tak mau membikin KTP akhirnya mendatangi Mujito, bahkan hingga subuh-subuh.

“Waktu itu bulan puasa, habis ahur sudah ada yang datang mengetok pintu minta dibuatkan KTP,” kenang Mujito.

Butuh dua tahun Mujito membujuk warga SAD itu untuk mau membikin KTP. "Alhamdulillah sekarang sudah lebih dari 50% yang ber KTP,” katanya.

Tapi belakangan, Mujito didera masalah baru lagi. Asal ada program bantuan, berbondong-bondong orang SAD datang. Ada yang dari Merangin, Batanghari, bahkan Tebo.

Waktu Presiden Jokowi datang ke Bukit Suban pada 2015 kata Mujito, kelompok-kelompok SAD dari kabupaten lain berdatangan. Begitu juga saat Wakil Menteri ATR BPN bersama sejumlah pentinggi dan Komnas HAM datang ke desa itu 9 Juni 2021 lalu. Berbondong-bondong juga warga SAD dari wilayah lain datang.

Temenggung Tarib sendiri mengakui itu. “Memang, ada juga warga SAD dari Ulayat Ayik Itam datang ke acara itu, tapi hanya dua tiga orang. Meriau sendiri memang asli warga Ayik Itam. Tapi dia sudah bersemenda --- berbesan --- dengan Ulayat Mengkekal. Jadi Tumenggungnya bukan Tumenggung Ayik Itam, tapi sudah Mengkekal,” terangnya.

Simpang siurnya keberadaan warga SAD ini lah yang membikin Mujito angkat tangan. “Kalau membahas SAD, enggak ada habisnya. Enggak akan selesai oleh Desa Bukit Suban. Sebab Bukit Suban ini di daerah perbatasan, akses terdekat semua warga SAD ya ke sini meski domisili mereka sebenarnya di Merangin, Batanghari atau Tebo,” ujarnya.

Husni Tamrin, Bintara Pembina Desa (Babinsa) Bukit Suban ini juga mengatakan kalau berbondong-bondongnya orang SAD dari kabupaten lain datang, itu tak lepas dari apa yang sudah mereka lakukan selama ini.

“Artinya, kita yang di sini yang paling aktif mengurusi warga SAD. Lantaran itu pula, Bukit Suban jadi sorotan,” kata ayah dua anak ini.

Jangankan mengurusi semua warga SAD yang berdatangan itu, mengurusi warga SAD yang di Ayik Itam saja kata Mujito, sebenarnya sudah sangat merepotkan. Sebab meski satu ketumenggungan, kelompok yang satu dengan kelompok yang lain saja, tidak mau berbaur. Katakanlah kelompok Margarahayu, Sidomukti dan Bukit Pal Makmur. “Tiga simpul ini enggak bisa berbaur,” ujar Mujito.

Lantaran itulah kata Mujito, Pemerintah Provinsi Jambi harus turun tangan untuk memberesi ini semua. “Saya bilang pemerintah provinsi lantaran ini lintas kabupaten. Jangan nanti muncul omongan, semuanya warga SAD Ayik Itam. Padahal sesungguhnya, warga SAD Ayik Itam itu, hanya sedikit,” katanya.

Terlepas dari sebegitu sulitnya Mujito mengurusi warganya, dia tetap saja merasa beruntung dan bersyukur. “Walau cuma desa, tapi di desa ini ada Indonesia mini, ada kebhinekaan. Saya mensyukuri itu semua,” katanya.


Abdul Aziz

 

553