Home Kolom Dana Haji, BPKH, dan Opini WTP

Dana Haji, BPKH, dan Opini WTP

Rapor Biru Pengelolaan Dana Haji

Oleh: Eko B. Supriyanto*

Selain likuid dan aman, dana kelolaan haji ini menghasilkan surplus yang terus meningkat. Wajar saja Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberi penilaian Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

 

Naik-naik ke puncak gunung. Itulah gambaran pas untuk laporan keuangan pengelolaan dana haji tahun 2020. Seluruh indikator keuangan penting, seperti aset, investasi, dana kelolaan, dan nilai manfaat, naik. Kewajiban lancarnya dapat ditopang dengan alat likuiditasnya. Jadi, dana haji sesungguhnya sangat likuid.

Bukan hanya likuid, tapi juga relatif paling aman, karena investasinya “ditanam” di instrumen Surat Berharga Negara (SBN) – yang dijamin oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tidak di instrumen yang penuh risiko seperti di pasar saham, ataupun investasi yang tidak jelas seperti saham-saham “gorengan”.

Mencegah bahaya itu lebih baik daripada mengejar manfaat. Itulah pilihan investasi yang dilakukan oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Instrumen pilihannya adalah aman, dan memberi hasil yang optimal. Tidak mengejar imbal hasil yang penuh risiko, tapi memberi imbal hasil yang memberi keamanan. Semua ini untuk peningkatan pelayanan calon jemaah haji Indonesia.

Menurut pengalaman, jika suku bunga rendah dan tidak bergejolak, seperti tiga tahun terakhir ini, maka pilihan investasi di SBN akan lebih menguntungkan. Bahkan, dalam kurun waktu 2014-2020 rata-rata total return mencapai 10,5%. Jika dibandingkan dengan rata-rata return Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang hanya 6,8%, maka penempatan dana publik termasuk dana haji ini tepat.

Menurut laporan keuangan BPKH, per Desember 2020, dana haji yang dikelola BPKH mencapai Rp144,91 triliun, atau meningkat 16,56% dibandingkan dengan 2019 yang tercatat Rp124,32 triliun. Nah, jika dikaitkan dengan target pada 2020, capaian target dana haji adalah 103,83%.

Jika dibedah, alokasi dana haji terkonsentrasi di BPS-BPIH sebesar Rp45,33 triliun (31,3%) dan Rp99,58 triliun (67,7%). Investasi terdistribusi dalam instrumen surat berharga (sukuk syariah) Rp98,47 triliun, investasi lainnya dalam negeri Rp1,03 triliun, dan investasi luar negeri Rp74 miliar. Menurut laporan keuangan, tidak terdapat investasi langsung di infrastruktur atau proyek-proyek “mangkrak”.

Alhasil, aset total meningkat 16% menjadi Rp145,77 triliun dari periode 2019 yang sebesar Rp125,26 triliun. Peningkatan aset ini dipengaruhi oleh peningkatan investasi jangka panjang. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh aturan (PP Nomor 5 Tahun 2018), selain juga kesempatan meraih imbal hasil yang lebih tinggi, maka pilihan pada investasi jangka panjang.

Aman dan Likuid

Posisi penempatan dana menurun 16,51% menjadi Rp45,33 triliun di 2020 dari Rp54,29 triliun. Posisi penempatan dana memang seharusnya menurun. Itu disebabkan oleh adanya amanat PP Nomor 5 Tahun 2018 yang menyatakan bahwa komposisi antara penempatan dan investasi setelah tiga tahun BPKH berdiri adalah 30% : 70%. Jadi, harus lebih besar ke investasi – agar memberi nilai manfaat lebih tinggi untuk kesejahteraan calon jemaah haji.

Simak saja. Nilai investasinya terus berkembang dari tahun ke tahun. Tahun 2020 lalu, investasi BPKH menyentuh angka Rp99,58 triliun. Atau, naik tajam sebesar 42,21% dibandingkan dengan posisi 2019 yang sebesar Rp70,02 triliun. Komposisi investasi dari tenor jatuh tempo, tercatat Rp90 triliun jangka panjang dan Rp8,8 triliun jangka pendek.

Strategi itu tentu sudah diperhitungkan, terutama mengenai kebutuhan likuiditas yang meski dominan dalam jangka panjang, kemampuan likuiditasnya memadai. Itu bisa dilihat dari kas, penempatan di bank-bank syariah yang sewaktu-waktu bisa dicairkan. Jadi, pengelolaan dana haji ini tidak hanya aman, tapi juga likuid.

Lebih membanggakan. Nilai manfaat dari investasi dan penempatan juga mendaki. Tahun 2020 lalu total nilai manfaat yang diperoleh mencapai Rp7,43 triliun. Itu terdiri atas nilai manfaat penempatan Rp2,08 triliun (27,99%) dan nilai manfaat dari investasi Rp5,23 triliun (71,01%). Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, total nilai manfaat ini terjadi kenaikan Rp67 miliar.

Menurut pandangan analis, peningkatan nilai manfaat ini adalah sebuah prestasi dalam kondisi krisis ekonomi akibat pandemi COVID-19. Lihat saja, dibandingkan dengan target 2020, maka kinerja realisasi mencapai 103,9%. Itu artinya pula, pilihan investasi dan penempatan selain mendapat nilai manfaat yang optimal, sekaligus merupakan pilihan strategi yang tepat di tengah pandemi COVID-19.

Di lain sisi – pengelolaan biaya, seperti beban penyelenggaraan, beban operasional BPKH, tampak lebih efisien. Ada penurunan beban penyelenggaraan ibadah haji karena pada 2020 pemerintah Indonesia tidak memberangkatkan haji akibat pandemi COVID-19. Sejalan dengan itu – meski ada peningkatan beban operasional, seperti beban pegawai, beban penyusutan aset tetap, dan beban amortisasi aset tak berwujud, namun masih lebih rendah jika dibandingkan dengan pertumbuhan nilai manfaat secara keseluruhan.

Rapor pengelolaan dana haji 2020 –yang dilakukan oleh BPKH– bisa disebut biru atau kinerjanya sangat bagus, baik dari sisi pertumbuhan maupun dari sisi rasio keuangan, seperti rasio likuiditas yang jauh dari cukup. Juga, rasio solvabilitas yang tampak sangat memadai.

Rasio likuiditas wajib –kemampuan BPKH menyediakan biaya penyelengaraan ibadah haji (BPIH), seperti terlihat dalam laporan keuangan BPKH, tampak lebih dari 2X seperti yang diamanatkan UU Nomor 34 Tahun 2014– di mana BPKH wajib menjaga 2X BPIH. Jadi, tidaklah benar, BPKH tidak likuid. Justru BPKH sangat likuid.

Hal yang tak kalah pentingnya adalah rasio solvabilitas atau leverage ratio. Rasio ini digunakan untuk menilai kemampuan BPKH atas pelunasan utang, dan seluruh kewajiban dengan menggunakan jaminan dan aset neto (harta kekayaan dalam bentuk apa pun) yang dimiliki dalam jangka panjang dan jangka pendek. Rasio solvabilitas BPKH dari tahun ke tahun terus membaik. Jika 2018 sebesar 108%, kini (2020) naik menjadi 108%.

Opini WTP dari BPK

Tak berlebihan – menurut opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), atas laporan keuangan BPKH, yang terdiri atas Neraca, Laporan Operasional, Laporan Arus Kas, Laporan Perubahan Aset Neto, dan laporan Realisasi Anggaran, mendapat predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Itu artinya, akuntabilitas pengelolaan dana haji oleh BPKH ini merupakan yang ketiga kalinya berturut-turut sejak BPKH menyusun laporan keuangan tahun 2018.

Kepala Badan Pelaksana BPKH, Anggito Abimanyu menyatakan, opini WTP atas laporan keuangan BPKH merupakan hal yang sangat penting. Itu menjadi bukti akuntabilitas pengelolaan dana haji. Opini WTP mempertahankan kepercayaan masyarakat atas pengelolaan dana haji yang prudent.

Merujuk pernyataan Anggito, jelas sudah opini WTP ini menjadi bukti bahwa dana haji telah dikelola secara profesional, hati-hati, transparan, dan akuntabel. Opini WTP ketiga kalinya ini menunjukkan bahwa pengelolaan dana haji ini aman, dan likuid sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku, jelas Anggito dalam pernyataan persnya.

Tahun 2020, di tengah krisis ekonomi akibat pandemi COVID-19, pengelolaan dana haji oleh BPKH, baik dari sisi pertumbuhan, rasio keuangan maupun governance, dapat disebut “rapornya biru” atau berkinerja sangat bagus –yang pada akhirnya untuk peningkatan pelayanan calon jemaah haji Indonesia.

*Penulis pemerhati ekonomi. Chairman Infobank Institute