Home Info Sawit Ditjenbun Dituding ‘Mencaplok’ Duit Receh

Ditjenbun Dituding ‘Mencaplok’ Duit Receh

Jakarta, Gatra.com - Belum habis uneg-uneg pekebun sawit yang terpapar klaim kawasan hutan berseliweran ke ponsel lelaki 48 tahun ini, dua pekan belakangan, uneg-uneg soal beasiswa sawit pula yang membanjir dari hampir semua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) yang ada di 144 kabupaten kota dan 22 provinsi yang ada di Indonesia.

Mulai dari kapan seleksi beasiswa sawit akan dimulai hingga kenapa aturan penerimaan beasiswa sawit tiba-tiba sudah kayak pengajuan untuk ikut program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) menjadi pertanyaan para pekebun, buruh kebun dan buruh pabrik sawit anggota Apkasindo itu.

Perubahan aturan main itu menjadi pertanyaan lantaran biasanya, penerimaan beasiswa itu cuma satu pintu. Anak pekebun, buruh kebun maupun pabrik kelapa sawit, boleh ikut menjajal nasib dengan cuma menyiapkan berkas yang dibutuhkan lalu diunduh ke aplikasi yang sudah ada.

Tapi sekarang, sudahlah yang boleh ikut cuma 8 provinsi, anak buruh kebun dan pabrik kelapa sawitpun sudah tak boleh ikut. Mereka diganti oleh pegawai negeri yang ikut mengurusi sawit.

Lalu, anak pekebun yang ikut mengadu nasib, musti melewati proses dan rekomendasi teknis (rekomtek) dari dinas terkait di kabupaten, provinsi, hingga di Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun).

Intinya, sudah kayak Ditjenbun lah yang membiayai beasiswa sawit itu. Padahal, tak sepeserpun duit Ditjebun yang mengucur. Semua biaya untuk itu dimintakan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Termasuklah untuk honor-honor para pegawai di daerah yang terlibat dalam proses seleksi beasiswa sawit itu.

Sumber Gatra.com menyebut, gara-gara bengkak di honor dan operasional selama proses seleksi itulah makanya alokasi duit yang biasanya cukup untuk mengkuliahkan ribuan anak pekebun, buruh kebun dan pabrik kelapa sawit dari semua provinsi penghasil sawit, mengkeret menjadi hanya bisa untuk biaya 8 provinsi.

“Pokoknya ruwet, ruwet,ruwet lah. Sudah lima tahun program beasiswa yang notabene duitnya berasal dari pekebun sawit ini berjalan, tahun inilah yang benar-benar ruwet. Padahal kalau dibandingkan dengan besaran duit Pungutan Ekspor (PE) yang disumbangkan oleh pekebun, jumlah duit beasiswa ini receh nya,” rutuk Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung saat dihubungi Gatra.com, kemarin.

Goldameir Mektania, pekebun milenial di Kalimantan Tengah (Kalteng) juga sangat menyayangkan aturan main baru itu. “Jujur, saya merasa aneh saja. Saat Pungutan Ekspor (PE) lagi bagus-bagusnya, kok beasiswa sawit malah diciutkan. Tahun ini Kalteng memang kebagian, tapi dibatasi hanya dari Kotawaringan Barat dan Timur,” katanya.

Sementara kata jebolan program beasiswa Belanda ini, Apkasindo Kalteng sudah menyiapkan nama-nama anak pekebun, buruh kebun dan pabrik dari 12 DPD Apkasindo yang ada untuk ikut seleksi. “Kami pastikan bahwa nama-nama itu adalah mereka yang benar-benar berhak,” ujarnya.

Ketua DPW Apkasindo Papua, Albert Yoku, tak kalah jengkel. Dia menuding bahwa Ditjenbun tak paham soal urgensi beasiswa sawit itu.

“Usul saya, berlakukan saja quota, tak usah pakai rekomtek segala. Kalau aturannya dibikin seperti sekarang, bisa-bisa 14 hari kami melakukan perjalanan dari kampung baru tiba di kantor Dinas Perkebunan untuk mengurus rekomtek-rekomtek itu, belum tentu lulus,” suara Albert kesal.

Sama seperti Albert, Ketua DPW Apkasindo Sulawesi Barat, Andi Kasruddin Rajamuda, juga ikut kesal. “Ditjenbun jangan bikin aturan yang menyusahkan lah,” pintanya.

Bagi Ketua Harian (KH) DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gus Dalhari Harahap, cara-cara Ditjenbun ini sama dengan upaya merampok, mengambil paksa yang bukan haknya.

"Kerjaan pokoknya enggak dia kerjakan, kerjaan orang diambil. Jangan kalau untuk mengurusi duit, mereka pada heboh semua. Tapi giliran pekebun berhadapan dengan klaim kawasan hutan, mereka cuci tangan," rutuk Gus.

Yang membikin lelaki 50 tahun ini semakin merasa aneh adalah ketika Aparatur Sipil Negara (ASN) didapuk boleh mendapat beasiswa sawit itu. "Ini kan sudah semakin aneh. Beasiswa ASN itu sudah ada nomenklaturnya dan itu harus melalui Badan Kepegawaian," tegasnya.

Gus menyebut, apa yang dilakukan oleh Ditjenbun ini telah mengkerdilkan keberadaan BPDPKS sebagai Badan Layanan Umum (BLU).

"BPDPKS itu punya kapasitas lho, di sana ada sederet direktur yang dibebani tanggungjawab besar. Kalau beasiswa ini saja harus dicampuri oleh Ditjenbun, ini sama saja dengan BPDPKS itu hanya dianggap juru bayar. Jangan egois gitulah," pintanya.

"Wong mengurusi PSR saja Ditjenbun sudah babak belur. Ini sudah tahun ke empat tapi hasilnya gimana?" tambahnya.

Gus kemudian meminta agar aturan main beasiswa itu dikembalikan seperti pola sebelumnya, tanpa intervensi kementerian. "Harusnya urusan beasiswa ini cukup domain BPDPKS. Kalau misalnya BPDPKS butuh pendampingan, tinggal pakai konsultan," katanya.

Gulat sendiri mengaku, begitu uneg-uneg tadi membanjir, dia langsung menghubungi BPDPKS. Yang dihubungi hanya bisa angkat tangan lantaran aturan main soal beasiswa itu sudah diseret bulat-bulat oleh Ditjebun.

Kepada Ditjenbun pun kata Gulat, surat bersifat sangat segera juga sudah dilayangkan oleh DPP Apkasindo dan berharap surat itu segera mendapat respon. “Mestinya Ditjenbun paham dengan situasi. Jumlah beasiswa ini terbatas, keinginan kuat anak pekebun bahwa setelah lulus akan bekerja di kebun kelapa sawit, mestinya jadi pertimbangan utama. Termasuk kearifan lokal dan santri-santri yang pondok pesantrennya dekat dengan perkebunan sawit, ujar Gulat.

“Anak-anak kami sangat membutuhkan beasiswa ini. Apalagi bagi yang kebun sawit nya sedang menjalani PSR, praktis engak ada lagi pendapatan rutin bulanan lantaran sawitnya sudah ditumbang. Di sinilah strategis nya beasiswa itu. Bagi yang belum beruntung dapat PSR, beasiswa ini bisa menjadi pemicu semangat pekebun yang harga TBS nya berkurang akibat PE,” auditor Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ini mengurai.

Dari penelusuran Gatra.com, Peraturan Menteri Pertanian pemicu kisruh itu sebenarnya sudah tergolong lama, tahun 2019 lalu.

Di pasal 6 peraturan nomor 7 setebal 32 halaman yang diteken oleh Menteri Pertanian era Amran Sulaiman itu disebutkan bahwa penerima beasiswa adalah pekebun, anak pekebun dan pegawai negeri yang ikut mengurusi sawit.

Di pasal 10 lah kemudian diatur bahwa proses seleksi beasiswa itu musti melalui rekomtek di kabupaten kota, provinsi dan pusat. Setahun kemudian Dirjenbun menguatkan Permentan itu dan dua bulan lalu, Dirjenbun yang saat ini masih dijabat oleh Kasdi Subagyono, membikin surat edaran.

Person In Charge (PIC) --- orang yang bertanggungjawab --- atas pelaksanaan beasiswa aturan baru ini, Ardi Pratomo belum sepenuhnya menjawab konfirmasi "Ada info yang kurang tepat," katanya.

Direktur Perlindungan Tanaman Ditjenbun ini masih hanya mengatakan kalau pihaknya justru membuka kesempatan seluas-luasnya kepada provinsi yang ada sawit "Prosedur baru sedang disiapkan," tambahnya.


Abdul Aziz

750