Home Ekonomi Mewaspadai Oligarki dan Pemburu Rente dalam Alih Kelola Blok Rokan

Mewaspadai Oligarki dan Pemburu Rente dalam Alih Kelola Blok Rokan

Jakarta, Gatra.com - Pengelolaan Blok Rokan resmi berpindah dari Chevron Pacific Indonesia (CPI) kepada Pertamina melalui anak usaha Pertamina Hulu Rokan (PHR). Pengalihan pengelolaan ini akan mulai berlaku pada hari Senin (9/08) mendatang.

Chevron menguasai blok migas tersebut sejak tahun 1936 silam. Kontrak Blok Rokan ditandatangani PHR dengan SKK Migas atas persetujuan Menteri ESDM 9 Mei 2019. Kontrak akan berlangsung 20 tahun, 2021-2041, menggunakan skema gross split.

Sebelumnya Dirut PHR Jaffee Arizona Suardin pada bulan lalu menuturkan (13/07) proses alih kelola Blok Rokan telah berjalan lancar tanpa kendala. Proses mirroring seluruh kontrak eksisting dengan CPI sudah lebih dari 100 persen dari 291 kontrak. Selain mirroring, turut dilakukan pengadaan baru dan kontrak melalui program pengembangan bisnis lokal yang juga berjalan lancar. Proses alih pekerja pun telah mencapai 98,7 persen.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menjelaskan bahwa dari sisi operasional alih kelola Blok Rokan tampaknya akan baik-baik saja. Sehingga target PHR mempertahankan lifting Blok Rokan sekitar 165.000 barel per hari (bph), sama seperti saat dikelola CPI, tampaknya dapat tercapai, terutama karena PHR menempuh pola mirroring kontrak.

"Kita tidak tahu apakah dalam pola tersebut terkandung pula maksud mengamankan kepentingan para sub-kontraktor lama yang biasa berkontrak dengan CPI. Yang jelas, untuk bisnis migas sebesar Blok Rokan, pemimpinnya malah berasal dari SKK Migas, bukan dari induknya, yakni Pertamina sebagai pemegang 100 persen Blok Rokan." ujar Marwan, Rabu (04/08).

Marwan menilai Pertamina/PHR ke depannya harus segera menangani kontrak/sub-kontrak secara mandiri. Pasalnya, tambah Marwan, bisa saja kontrak existing CPI bernilai sangat mahal, sehingga agar efisien dan efektif harus direviuw sesuai kebutuhan rencana pengembangan jangka pendek dan panjang.

"Dengan demikian akan diperoleh manfaat maksimal bagi BUMN dan negara. Kalau tidak mandiri, apa gunanya Pertamina menjadi operator pengelola Rokan? " tutur Marwan.

Meski, Marwan mengungkap bahwa maksimalisasi keuntungan bisa saja gagal tercapai mengingat kontrak Blok Rokan menggunakan skema gross split, di mana peran pengawasan SKK migas menjadi sangat minimalis untuk tidak mengatakan hilang sama sekali.

"Kondisi menjadi lebih parah karena fungsi pengawasan dan audit internal BUMN belum berjalan optimal. Manajemen BUMN selama ini pun tidak berjalan independen, prinsip GCG tidak optimal, kepentingan politik penguasa cukup dominan, serta intervensi oligarki dan perburuan rente pun cukup kental," ungkapnya.

Marwan berpandangan agar pengelolaan Blok Rokan bermanfaat bagi sebesar-besar kemamuran rakyat sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945, Pemerintah dan DPR harus menangkal atau mengeliminasi intervensi oligarki pemburu rente, GCG ditingkatkan dan fungsi pengawasan internal dan ekternal dioptimalkan.

"Kalau tidak, bukan benefit maksimal yang dicapai, tetapi seberapa besar akhirnya penerimaan negara menurun dibanding sebelumnya! Sebagai catatan, selama pemerintahan Jokowi, kondisi BUMN justru semakin runyam terutama akibat maraknya intervensi oligarki dan perburuan rente,” tegasnya.

Marwan memaparkan bahwa selain aspek operasional, aspek bisnis pengelolaan Blok Rokan oleh PHR yang berpotensi merugikan negara adalah terkait kewajiban divestasi atau share down pemilikan saham.

Terkait hal tersebut, jelas Marwan, PHR telah diminta melakukan divestasi atau pengalihan saham, participating interest (PI) maksimal 39 persen. Pasalnya 10 persen PI telah menjadi milik Pemda/BUMD terkait, maka saham yang dimiliki Pertamina kelak hanya akan tinggal 51 persen.

“Hal yang tak kalah penting adalah, berapa besar dana yang akan dibayar sang mitra untuk mengakuisisi saham tersebut," ujarnya.

Diketahui volume dan nilai bisnis seputar pengelolaan Blok Rokan dengan produksi 165.000 bph dan harga rata-rata minyak mentah (crude oil) dalam 10 tahun terkahir US$66 per barel, maka nilai pendapatan kotornya berkisar US$10,89 juta per hari atau US$3,92 miliar per tahun. Itu artinya, dalam kontrak 20 tahun nilainya akan berkisar US$78,40 miliar.

190