Home Ekonomi IESR: Indonesia Perlu Benahi Pengadaan PLTS Skala Besar

IESR: Indonesia Perlu Benahi Pengadaan PLTS Skala Besar

Jakarta, Gatra.com – Institute for Essential Services Reform (IESR) menyampaikan bahwa pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) skala besar menjadi pilihan banyak negara di dunia untuk memenuhi target penurunan emisi yang sesuai dengan Persetujuan Paris.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, dalam siaran pers yang diterima di Jakarta pada Minggu (22/8), mengatakan, agar target penurunan emisi dengan pemanfaatan energi surya terpenuhi serta harga jual listrik PLTS menjadi jauh lebih murah, pengadaan PLTS ini harus mempunyai target yang jelas.

Selain itu, prosesnya harus transparan serta didukung kebijakan yang mendukung kelayakan finansial proyek. Sejak 2013, pengadaan PLTS skala besar di Indonesia, dilakukan dengan sistem pelelangan (tender).

Hanya saja, kata dia, cara ini belum cukup efektif menurunkan harga beli listrik dari PLTS. Studi terbaru IESR berjudul “Hitting Record-Low Solar Electricity Prices in Indonesia”, menemukan bahwa salah satu penyebab kurang efektifnya sistem lelang PLTS skala besar di Indonesia adalah belum adanya perencanaan di sistem ketenagalistrikan untuk memanfaatkan energi surya skala besar dalam orde gigawatt.

Berdasarkan studi tersebut, hal ini memengaruhi volume dan jumlah proyek PLTS yang hendak dilelangkan. Selain itu, praktik pengadaan belum cukup transparan sehingga menyulitkan calon penawar untuk ikut serta dalam proses pelelangan.

Selama ini, lelang tenaga surya di Indonesia masih untuk kapasitas yang berukuran kecil, tersebar, jarang, dan biasanya dilakukan dalam lelang putus atau individual sehingga memberikan sinyal buruk bagi investor atau lembaga keuangan untuk menyediakan modal yang dibutuhkan untuk proyek tersebut.

Tidak hanya itu, kebijakan dan regulasi pendukung di Indonesia terhadap pembangunan PLTS skala besar, terutama dalam proses pelelangan, masih kurang menarik atau bahkan menghambat pengembangan instalasi surya.

“Pelelangan PLTS skala besar di Indonesia sangat terpaku pada ketentuan tata cara pelelangan barang dan jasa yang berlaku juga untuk PLN, yaitu tender umum, tender terbatas, penunjukan langsung dan pengadaan langsung, dengan berbagai ketentuan tambahan misalnya syarat TKDN," ujarnya.

Menurut Fabby, metode pelelangan tersebut kurang cocok untuk mendapatkan harga yang sangat kompetitif untuk pengembangan PLTS skala besar. Apalagi proses pengadaan juga sangat ditentukan oleh proses lelang PLN, yang tidak terjadwal rutin, dan ukuran proyek yang relatif masih kecil di bawah 100 MW per unit.

"Perlu dipikirkan perubahan cara lelang untuk PLTS sehingga mendapatkan harga yang kompetitif, kualitas yang prima, dan proyek yang bankable,” kata Fabby.

Menurutnya, pemerintah Indonesia perlu belajar pada keberhasilan sejumlah negara yang menerapkan tata cara pelelangan (auction) untuk PLTS skala besar, di antaranya India, Brasil, dan Uni Emirat Arab (UEA).

Ketiga negara tersebut, lanjut Fabby, mampu mencatatkan beberapa harga pemecah rekor yang ditawarkan oleh penawar lelang. Persamaan dari ketiga negara tersebut adalah adanya target yang terintegrasi dalam perencanaan sistem ketenagalistrikan dan pelelangan yang dilakukan secara terjadwal.

Sementara itu, Penulis Laporan “Hitting Record-Low Solar Electricity Prices in Indonesia”, Daniel Kurniawan, menyampaikan, hal yang paling penting untuk mendorong perkembangan PLTS skala besar adalah perencanaan sistem ketenagalistrikan yang memprioritaskan PLTS dalam rencana penambahan kapasitas pembangkit.

Menurutnya, perencanaan sistem ketenagalistrikan ini kemudian disertai dengan agregasi permintaan (kapasitas yang akan ditawarkan) untuk kemudian dilelangkan secara terjadwal dan terencana dalam jangka menengah, mislanya 3–5 tahun dan tidak sporadis.

"Skala keekonomian proyek juga menjadi kunci dalam penurunan harga penawaran suatu lelang PLTS IPP,” ujar Daniel.

Adanya standar lelang yang transparan, diikuti dengan jadwal pelelangan yang konsisten, lanjut Daniel, terbukti membantu menarik jumlah penawaran. Ketiga negara yang disebutkan di atas juga menyediakan akses informasi proses pelelangan untuk umum.

Komitmen kuat ketiga negara tersebut dalam mendukung pengembangan tenaga surya ditunjukkan dengan mendirikan lembaga baru, atau meningkatkan kapasitas lembaga yang sudah ada yang bertugas melakukan seluruh proses pengadaan.

Pemerintah ketiga negara tersebut juga berperan penting dalam pengurangan risiko proyek dan biaya transaksi untuk mendorong penawaran menjadi semakin kompetitif. Ditinjau dari sisi regulasi pendukung, mereka juga memuat persyaratan, seperti memasukkan kearifan lokal sehingga selain dapat mendorong pengembangan solar skala besar, juga melindungi industri lokal.

Atas dasar itu, IESR merekomendasikan bahwa pemerintah Indonesia perlu mereplikasi keberhasilan ketiga negara tersebut yaitu dengan cara, pertama; menetapkan target yang ambisius dan jelas seperti program surya nasional yang terintegrasi dengan perencanaan sistem ketenagalistrikan untuk dilakukan pengadaan melalui pelelangan terencana (systematic auction).

Program surya nasional yang terintegrasi dan dapat dieksekusi menunjukkan komitmen pemerintah untuk pengadaan PLTS skala besar, mengirimkan sinyal positif kepada pemain internasional jangka panjang dalam energi surya, dan menciptakan pasar PLTS yang kompetitif di Indonesia.

Tentu saja, program tersebut tidak harus terbatas hanya untuk PLTS skala besar atau PLTS IPP (seperti PLTS ground-mounted dan PLTS Terapung) tetapi dapat juga diperluas ke segmen lain, seperti PLTS terdistribusi (PLTS atap), sebagai wujud pelaksanaan amanat Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 untuk memasang solar rooftop pada gedung-gedung pemerintah, maupun PLTS di luar jaringan (off-grid).

Rekomendasi kedua, kata Daniel, yakni mendukung pengembangan proyek PLTS untuk mengurangi risiko proyek dan meningkatkan peluang kredit usaha dari bank (bankabilitas). Ketiga, menetapkan standar lelang dan power purchase agreement (PPA) yang memenuhi persyaratan bank (bankable), serta mengubah klausul terkait biaya interkoneksi (komponen E) dalam Peraturan Menteri ESDM 50/2017 untuk mempercepat penandatanganan PPA.

Keempat, menciptakan pasar lelang PLTS terpisah untuk proyek dengan ketentuan memasukkan kearifan lokal. Kelima, melakukan sentralisasi proses pelelangan dan mengalihkan kewenangan lelang kepada suatu juru lelang independen.

345