Home Politik KSIxChange 35: Inovasi Kebijakan Dorong Pertumbuhan Pembangunan

KSIxChange 35: Inovasi Kebijakan Dorong Pertumbuhan Pembangunan

Jakarta, Gatra.com – Situasi krisis membutuhkan tindakan-tindakan cepat dalam pengambilan keputusan dan kebijakan, tak terkecuali dalam situasi pandemi Covid-19. Era desentralisasi memberikan insentif kepada pemerintah daerah untuk proaktif dalam mengembangkan inovasi kebijakan dengan konsep pembangunan wilayah yang berorientasi pada penciptaan keunggulan daya saing berkelanjutan dengan menggali potensi daerahnya.

Di masa pandemi, optimalisasi potensi daerah perlu digerakkan oleh strategi yang tidak saja efisien, namun juga perlu didukung dengan inovasi kebijakan yang mendukung pertumbuhan pembangunan, serta kolaborasi pengetahuan multi-aktor dalam kebijakan. Hal ini yang menjadi pokok bahasan KSIxChange ke-35, yang diselenggarakan oleh Knowledge Sector Initiative (KSI), terkait upaya berkelanjutan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah dalam memperkuat kebijakan berbasis bukti yang inovatif.

Diskusi yang berlangsung Kamis (26/8) menghadirkan perwakilan dari beberapa institusi dan lembaga, termasuk Direktur Regional II Kementerian PPN/Bappenas, Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Bappelitbangda Sulawesi Selatan, dan Yayasan BaKTI. “Secara regulasi, dorongan terhadap inovasi sudah cukup mumpuni. Bahkan, dalam RPJMN sudah dicantumkan bahwa target indeks inovasi daerah mencapai 36 persen. Namun, upaya tersebut belum cukup karena beberapa alasan. Ini mencakup iklim inovasi yang masih perlu perbaikan, dan nilai-nilai inovasi yang belum terinternalisasi secara efektif,” ujar Plt Direktur Regional II, Kementerian PPN/Bappenas, Muhammad Roudo.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan inovasi daerah dalam rangka peningkatan kinerja penyelenggaraan pembangunan daerah. Pada situasi pandemi saat ini, banyak kebijakan yang dihasilkan merupakan arahan langsung dari pusat sehingga memerlukan penyesuaian di daerah, sebagaimana yang diamanatkan dalam aturan mengenai otonomi daerah.

Banyak hal yang dibutuhkan dalam penyesuaian kebijakan di daerah, termasuk di antaranya inovasi pada substansi agar penyelarasan kebijakan dapat berjalan dengan baik dan tidak menimbulkan kerancuan bagi masyarakat dan pengguna kebijakan lainnya. Pada level pusat, penyusunan kebijakan yang inovatif juga terkadang menghadapi beberapa tantangan yang berpotensi menjadi hambatan. Aspek birokrasi, misalnya, termasuk sikap skeptis para birokrat masih menjadi salah satu tantangan utama. Lingkungan politik yang tidak mendukung juga berpengaruh terhadap implementasi inovasi karena erat kaitannya dengan penyediaan pendanaan maupun sumber daya yang lain.

Direktur Eksekutif KPPOD, Herman N Suparman menyatakan, terdapat tiga aspek yang mendorong inovasi kebijakan, yaitu kebijakan, inovasi dalam pelayanan publik, dan inovasi dalam perencanaan kebijakan. “Aspek kebijakan dan inovasi dalam pelayanan publik sudah cukup bagus, tetapi inovasi dalam perencanaan kebijakan masih membutuhkan perbaikan. Kami belum memiliki standar yang bagus dalam perencanaan kebijakan, termasuk di daerah. Bahkan di beberapa daerah, keterlibatan pemangku kepentingan masih sangat minim dan perlu ditingkatkan,” kata Herman N Suparman.

Langkah Strategis

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Selatan (Sulsel) mencontohkan langkah strategis dalam mengembangkan kebijakan inovatif. Program rintisan Knowledge to Policy (K2P) yang bekerja sama dengan Yayasan BaKTI berupaya melaksanakan kajian kolaboratif yang menunjukkan siklus penyusunan kebijakan berbasis pengetahuan. Dalam program ini, agenda kebijakan prioritas daerah didukung melalui kajian terapan yang menjadi dasar suatu kebijakan.

Dalam proses agenda-setting, Pemprov Sulsel menyepakati rantai nilai komoditas unggulan daerah, yaitu sutra, untuk menjadi tema kajian. Sebelum dasawarsa 2000-an, Kota Sengkang, ibu kota Kabupaten Wajo dijuluki kota sutra dengan ribuan pelaku industri tenun sutra. Namun, dalam 20 tahun terakhir, data statistik menunjukkan jumlah penenun di kabupaten tersebut menurun drastis hingga tersisa 151 orang.

Kajian kolaboratif ini berhasil melahirkan berbagai rekomendasi yang bermanfaat bagi penyusunan kebijakan industri tenun sutra dari hulu hingga hilir. Tidak sampai di situ, Pemprov Sulsel melalui Bappelitbangda juga menerapkan kajian yang sama pada komoditas talas, bekerja sama dengan Yayasan PINUS Sulsel.

Kajian ini menjadi referensi pelaksanaan kajian lintas-disiplin ilmu dan melibatkan multipihak untuk pemecahan masalah yang menjadi tantangan pemerintah daerah. Harapannya, pendekatan penyusunan kebijakan berbasis pengetahuan ini dapat digunakan pada program strategis lain, dan tidak terbatas pada pengembangan komoditas.

“Banyak pembelajaran yang kami dapatkan melalui program kolaborasi ini. Salah satu manfaat utamanya adalah peningkatan kapasitas riset dari Pemda. Bahkan kami dapat menghasilkan lebih banyak policy brief dibanding jika kami melakukan penelitian sendiri. Selain itu, metode ini sangat mungkin untuk direplikasi oleh Pemda lain melalui Litbangnya masing-masing,“ kata Peneliti Bappelitbangda Sulsel, Yvonne M. Salindeho.

125