Home Internasional Fanoos Basir: Saat Ini Tak Ada Masa Depan bagi Perempuan Afghanistan

Fanoos Basir: Saat Ini Tak Ada Masa Depan bagi Perempuan Afghanistan

Piriac-Sur-Mer, Gatra.com – Fanoos Basir mesti mengubur impiannya tentang negara ideal dan masa depan Afghanistan. Sebagai mantan pemain timnas sepak bola wanita Afghanistan, dia merasa tidak melihat masa depan bagi perempuan di bawah pemerintahan Taliban.

“Kami memiliki banyak mimpi untuk negara kami, untuk masa depan kami, untuk masa depan perempuan di Afghanistan,” katanya di luar pusat penampungan, tempat ia mengungsi setelah dievakuasi Prancis dari Kabul seperti dilaporkan Reuters, Selasa (31/8).

Basir mengatakan, tidak berani keluar selama berhari-hari saat Taliban menguasai ibu kota Kabul pada 15 Agustus. Ketika berani keluar, dia mengenakan burqa yang menutupi wajah dan tubuhnya.

“Ini adalah mimpi buruk kami, Taliban datang dan merebut seluruh Afghanistan. Tidak ada masa depan bagi perempuan Afghanistan untuk saat ini,” imbuhnya.

Pada 2010, Basir bergabung dengan tim nasional sepak bola pemula. Para pemain berlatih keras di stadion bobrok hingga mampu mengikuti turnamen di luar negeri.

Foto-fotonya saat berlaga menunjukkan dirinya tersenyum sambil merangkul rekan satu timnya. Dia tampak memakai setelan atlet sepak bola dengan kepalanya sering terbuka.

Basir yang berusia 25 tahun, berhenti bermain untuk tim nasional beberapa tahun lalu. Sejak itu, dia menjalankan klub untuk perempuan. Di sisi lain, dia juga bekerja sebagai insinyur sipil.

Ketika Taliban berhasil menguasai Afghanistan, Basir membulatkan tekad untuk segera melarikan diri dan sekarang sudah berada di pusat penampungan pengungsi di Prancis dan masih meratapi kehidupan yang ditinggalkannya.

Basir meninggalkan Afghanistan bersama dengan orang tuanya yang lemah. Sebelumnya, dia menghabiskan tiga hari berturut-turut tanpa hasil karena tidak mampu menembus kerumunan orang yang berkumpul di luar bandara Kabul. Basir melihat pasukan Taliban menembakkan senjata dan memukuli orang dengan tongkat.

Saat itu, dia memberanikan diri berbicara dengan perwakilan Taliban. Namun, pasukan tersebut justru mengatakan kepadanya: “Anda seorang wanita, kami tidak ingin berbicara dengan Anda,” ungkap Basir.

Basir dan keluarganya sempat putus asa. Namun saat itu, mereka mendengar kedutaan Prancis telah mengatur bus untuk menjemput orang-orang yang memenuhi syarat dievakuasi dan membawa mereka ke bandara. Akhirnya, dia dan orang tuanya bisa sampai ke bandara dan terbang keluar Afghanistan.

Saat ini, mereka sedang menjalani karantina Covid-19 di pusat penampungan, sekitar 450 kilometer barat Paris. Dia berharap bisa bekerja sebagai insinyur sipil di rumah barunya yaitu Prancis. Tetapi, untuk sekarang dia merasa seperti orang-orang yang terbuang.

“Meninggalkan negara kami, impian kami, segalanya. Sangat sulit bagi semua orang. Sekarang kita akan mulai dari nol,” tuturnya.

Sementara itu, tim nasional Afghanistan juga dibubarkan. Kontingen besar berisi para pemain dan staf telah dievakuasi dengan pesawat militer Australia. Seorang mantan kapten tim mendesak para pemain yang masih berada di Afganistan agar membakar peralatan olahraga dan menghapus akun media sosial mereka. Hal ini demi menghindari pembalasan Taliban.

Beberapa petinggi Taliban berupaya menggambarkan bahwa kelompok ini sudah bersedia untuk memberikan lebih banyak kebebasan bagi perempuan daripada sebelumnya. Namun, banyak orang Afghanistan meragukan pernyataan tersebut.

Pasalnya, Taliban di beberapa tempat mengatakan kepada para perempuan bahwa mereka hanya bisa pergi bersama wali laki-laki. Menurut Basir, hal itu berarti setiap perempuan harus membawa ayah atau saudara lelaki bersamanya tiap kali dia pergi bekerja.

Pada periode pemerintahan 1996-2001, Taliban melarang perempuan ikut serta dalam olahraga atau bekerja di luar rumah. Mereka mesti menutupi tubuhnya dari kepala hingga kaki saat berada di tempat umum.

Taliban pernah digulingkan dalam invansi pimpinan Amerika Serikat pada tahun 2001. Tetapi, 20 tahun kemudian Taliban berhasil mengambil alih kekuasaan lagi dan memaksa militer asing keluar dari Afghanistan. Kekuasaan Taliban juga mengakibatkan puluhan ribu warga Afghanistan dievakuasi. Penerbangan terakhir berangkat pada Senin (30/8).

87