Home Ekonomi Pembangunan Pariwisata Super Prioritas Labuan Bajo Terapkan Prinsip LUCIS

Pembangunan Pariwisata Super Prioritas Labuan Bajo Terapkan Prinsip LUCIS

Jakarta, Gatra.com – Kepala Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF), Shana Fatina, mengatakan, pihaknya menerapkan Implementasi Prinsip Land Use Conflict Identification Strategy (LUCIS) dalam Pembangunan Destinasi Pariwisata Super Prioritas Labuan Bajo.

Shana dalam keterangan pers yang diterima pada Rabu (22/9), menyampaikan, pihaknya memprakarsai implementasi LUCIS bersama Kementerian ATR untuk penyelesaian konflik agraria di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Menurut Menteri ATR/Kepala BPN, Sofyan Djalil, kata Shana, terdapat sederet masalah agraria terkait Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Super Prioritas Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT, di antaranya sengketa tanah, administrasi pertanahan, serta mafia tanah.

Ketiga masalah tersebut disampaikan pada Diskusi Publik #RoadtoWakatobi Penyelesaian Konflik Agraria dan Perbaikan Iklim Investasi yang diadakan oleh Kementerian ATR/BPN tanggal 14 September 2021, Labuan Bajo,NTT.

Terkait permasalahan tersebut, kata Shana, sesuai arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahwa untuk menyelesaikan sederet sengketadan konflik agraria di Labuan Bajo, maka dilakukanlah langkah urgensi.

Langkah urgensi ini, guna mencegah konflik di kemudian hari dalam perencanaan pembangunan destinasi pariwisata super prioritas Labuan Bajo-Flores sesuai dengan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) yang dilakukan dengan mengadopsi prinsip-prinsip dalam LUCIS atau Land-Use Conflict Identification Strategy.

Menurutnya, prinsip LUCIS ini diprakarsai BPOLBF bersama dengan Kementerian ATR/BPN, Pemprov NTT, Pemkab Manggarai Barat dengan melibatkan akademisi, serta forum penataan ruang di daerah. "Menerapkan prinsip-prinsip LUCIS dalam pengembangan pariwisata di Bajo dan sekitarnya," ujarnya.

Dalam rekomendasi diskusi publik #RoadtoWakatobi disebutkan bahwa penyelesaiankonflik agraria dan perbaikan iklim investasi, menerapkan pendekatan terhadap penyelesaian konflik agraria melalui minimalisasi konflik dengan melihat latar belakang sosial, budaya, sejarah, juga ekonomi.

"Percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta atau one map policy yang disusun memuat peta konflik agraria," katanya.

Hal itu, lanjut Shanan, sangat membantu pihaknya dalam penyelesaian konflik agraria, baik dari pemerintah, investor maupun masyarakat. One Map Policy dapat memberikan kepastian hukum terhadap investasi di waktu yang mendatang dan meminimalisir dampak buruk dari investasi ke depannya.

BPOLBF juga melakukan rekomendasi penyelesaian konflik yang sistemik dan berkelanjutan melalui sarana dialog yang mempertemukan berbagai pihak lintas sektor, mulai dari pejabat terkait, pemerintah daerah, hingga CSO/NGO untuk berkoordinasi, mengumpulkan data informasi, bernegosiasi, dan mediasi untuk menemukan solusi bagi berbagai konflik agraria.

Tersebarnya masyarakat adat di seluruh penjuru Indonesia, terutama di Provinsi NTT menjadi penting untuk segera dilakukan sebagai pemetaan bagi masyarakat adat dan wilayah adat. Pasalnya, beragam karakteristik masyarakat adat yang masih eksis di beberapa tempat.

Beberapa tindakan proaktif dalam usaha pencegahan dan penyelesaian perlu dilakukan, tentu agar jika timbul masalah agraria di kemudian hari, konflik yang hadir bisa diminimalkan, bahkan diusahakan agar konflik bisa diselesaikan sampai ke akarnya, hingga tercipta kesempatan untuk mewujudkan keadilan sosial dan peningkatan peluang investasi.

Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi NTT, Jaconias Walalayo, mengatakan, implementasi LUCIS di Pulau Flores secara keseluruhan terkait dengan masalah agraria sudah menemukan solusi.

"Kami semua di BPN mengupayakan agar konflik agraria bisa diminimalisasi sehingga ke depannya diharapkan tidak ada konflik kepentingan dan perkembangan wisata di sekitar Bajo pun bisa ikut memajukan masyarakat setempat, seperti kalangan nelayan hingga petani," kata pria yang akrab disapa Ony itu.

Diskusi Publik #RoadtoWakatobi ke-10 diadakan sebagai rangkaian persiapan menuju GTRA Summit 2022 di Wakatobi, sebagai forum diskusi lintas sektor untuk memperoleh pembelajaran bersama dengan mengidentifikasi akar permasalahan konflik agraria dan faktor penyebab sulitnya penyelesaian konflik agraria yang berdampak kepada stabilitas iklim investasi di Indonesia.

Iklim investasi yang baik diharapkan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, dengan memberikan korelasi positif terhadap pembangunan infrastruktur negara, yakni mendorong kenaikan PDB, membukalebih banyak lapangan pekerjaan, pertumbuhan daya beli konsumen, dan sebagainya.

Kegiatan ini dipimpin langsung oleh Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional, selaku Koordinator Pelaksana GTRA Nasional, dan dihadiri oleh Menteri ATR/Kepala BPN, Deputi Kementerian Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Gubernur Nusa Tenggara Timur, Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi NTT, serta para narasumber dan penanggap dari Kementerian ATR/BPN, Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Conflict Resolution Unit, dan Badan Registrasi Wilayah Adat.

579